Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan
terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat mnaati peraturan-peraturan
yang ada dalam masyarakat itu. Peraturan-peraturan ini dikeluarkan oleh suatu
badan yang berkuasa dalam masyarakat itu yang disebut Pemerintah.
Walaupun peraturan-peraturan ini telah
dikeluarkan, masih ada saja orang yang melanggarnya. Terhadap orang yang
melanggar peraturan ini sudah tentu dikenakan hukuman yang sesuai dengan
perbuatannya yang bertentangan dengan hukum itu. Segala peraturan-peraturan
tentang pelanggaran, kejahatan, dan sebagainya, diatur oleh Hukum Pidana.
Hukum pidana disusun dan dibentuk dengan maksud
untuk diberlakukan dalam masyarakat, agar dapat dipertahankannya segala
kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya kedamaian dan ketertiban.
Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini dibatasi oleh hal yang sangat
penting, yaitu:
a. Batas
waktu
b. Batas
tempat dan orang
Dalam KUHP mengenai batas-batas berlakunya
hukum pidana telah di tentukan dan diatur dalam bab pertama buku I dari pasal 1
sampai dengan pasal 9. Pasal 1 tentang batas berlakunya hukum pidana menurut
waktu, dan yang selebihnya adalah mengenai batas berlakunya hukum pidana
menurut tempat dan orang.[1]
Pelanggaran yang terjadi yang diatur dalam
hukum pidana disebut dengan tindak pidana, dan yang berkaitan dengan tindak
pidana yaitu tempat dan waktu tindak pidana yang disebut-sebut sebagai unsur
tindak pidana walaupun pada kenyataannya ada juga sebagian kecil rumusan tindak
pidana tertentu di mana mengenai hal waktu dan tempat itu menjadi unsur, baik
sebagai unsur yang memberatkan, misalnya waktu malam dalam sebuah kediaman,
atau sebagai unsur pokok, misalnya di jalan umum.
Dalam pasal 143 KUHAP, syarat materiil surat
dakwaan harus berisi secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana
yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan, yang
jika syarat itu tidak dipenuhi maka surat dakwaan itu terancam batal demi
hukum. Dalam praktekhukum pidana, perihal waktu dan tempat tindak pidana juga
penting bagi Tersangka, Terdakwa, dan penasehat hukumnya dalam hal menyiapkan
dan atau melakukan pembelaannya dengan sebaik-baiknya, khususnya mengenai
alibi.
Locus Delicti, Locus (inggris) yang berarti lokasi atau
tempat, secara istilah yaitu berlakunya
hukum pidana yang dilihat dari segi lokasi terjadinya perbuatan pidana.
Locus delicti perlu diketahui untuk:
a. Menentukan
apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana tersebut atau
tidak. Ini berhubung dengan pasal 2-8 KUHP.
b. Menentukan
kejaksaan dan pengadilan mana yang harus mengurus perkaranya. Ini berhubung
dengan kompetensi relatif.[2] Pasal 84 (1) KUHAP yang
memuat prinsip dasar tentang kompetensi relatif, Yakni pengadilan Negeri
berwenang mengadili segala perkara tindak pidana yang dilakukan di dalam daerah
hukumnya.
c. Sebagai
salah satu syarat mutlak sahnya surat dakwaan.
Mengenai locus delicti ini, dalam KUHP tidak
ada ketentuan apa-apa. Lain misalnya dengan KUHP jerman di mana dalam pasal 5
ditentukan bahwa tempat perbuatan pidana adalah tempat dimana terdakwa berbuat
atau dalam hal kelakuan negatif, dimana seharusnya terjadi.[3]
Secara umum, biasanya tentang
locus delicti ini ada dua aliran yaitu:
1. Aliran
yang menentukan di satu tempat, yaitu tempat di mana terdakwa berbuat.
2. Aliran
yang menentukan di beberapa tempat, yaitu mungkin tempat kelakuan, dan mungkin
pula tempat kelakuan.
Ada empat teori
untuk menentukan tempat terjadinya peristiwa pidana atau locus delicti atau
tempat kejadian perkara.
a. De leer
van de lichamelijke daad
Teori yang didasarkan kepada
perbuatan secara fisik. Itulah sebabnya teori ini menegaskan bahwa yang
dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana/locus delicti adalah tempat
dimana perbuatan tersebut dilakukan.
b. De leer
van het instrument
Teori yang didasarkan kepada berfungsinya suatu alat yang digunakan
dalam perbuatan pidana. Jadi teori ini menegaskan bahwa yang dianggap sebagai
tempat terjadinya tindak pidana adalah tempat dimana alat yang digunakan dalam
tindak pidana bereaksi.
c. De leer
van het gevolg
Teori ini didasarkan kepada akibat dari suatu tindak pidana.
Menurut teori ini bahwa yang dianggap sebagai locus delicti adalah tempat
dimana akibat dari pada tindak pidana tersebut timbul.
d. De leer
van de meervoudige pleets
Menegaskan bahwa yang diaanggap sebagai tempat terjadinya tindak
pidana yaitu tempat-tempat di mana perbuatan tersebut secara fisik terjadi
tempat dimana alat yang digunakan bereaksi, dan tempat dimana akibat dari tindak
pidana tersebut timbul.
Contoh kasus
Terjadi perkelahian antara A dan B di terminal
Rawamangun . B terkapar karena luka-luka ditikam A dengan sebilah pisau. Oleh
keluarganya B dilarikan dilarikan kerumah sakit persahabatan. Karena terlalu
parah akhirnya pihak rumah sakit mengirim B ke rumah sakit cito, kurang lebih 2
jam dirawat B meninggal. Karena luka yang dideritanya.
Pertanyaan yang muncul
atas kejadian ini, pengadilan mana yang berwenang mengadilinya?
jawab
1. Menurut
teori de leer van delichamelijke daad, bahwa secara fisik perbuatan atau tindak
pidana (perkelahian antara A dan B) terjadi dan berlangsung di terminal
rawamangun. Oleh karena itu yang berwenang mengadili kasus ini adalah
pengadilan negeri Jakarta timur. ( karena eawamangun berada di wilayah jakarta
timur).
2. Menurut
teori de leer van het instrument, bahwa alat yang digunakan A (benda tajam)
dalam perkelahiannya dengan B bereaksi/ berfungsi/bekerja ditempat perkelahian
(tempat bus rawamangun) dengan demikian maka yang berwenang mengadili kasus ini
adalah pengadilan negeri jakarta timur.
3. Menurut
teori de leer van het gevolg, bahwa akibat dari perkelahia tersebut adalah
tewasnya B di rscm. Dengan demikian pengadilan yang berwenang mengadili kasus
ini adalah pengadilan negeri jakarta pusat. Karena timbulnya akibat matinya B
di rscm yang letaknya di wilayah jakarta pusat.
4. Sedangkan
menurut teori de leer van de meeervoudige plaats, bahwa karena secara fisik
tindak pidana tersebut terjadi di terminal rawamangun demikian pula alat yang
digunakan dalam perkelahian tersebut bekerja/ berfungsi di tempat perkelahian
(terminal bus rawamangun) maka atas dasar itu pengadilan negeri jakarta timur
yang berwenang mengadilinya. Atau dapat juga kasus ini diadili di pengadilan
negeri jakarta pusat, karena akibat yang timbul yakni matinya B terjadi di rscm
jakarta pusat.
Dalam hal mengenai berlakunya hukum pidana
menurut tempat dan orang ini dikenal ada 4 macam asas, yaitu :
a. Asas
teritorialiteit ( territorialiteits-beginsel) atau asas wilayah negara;
b. Asas personaliteit
(personaliteits-beginsel), disebut juga dengan asas kebangsaan, asas
nasionalitet aktif atau asas subyektif (subjektions-prinsip);
c. Asas
perlindungan (beschermings-beginsel), atau disebut juga dengan asas
nasional pasif;
d. Asas
universaliteit (universaliteit-beginsel), atau asas persamaan.
Asas Teriorialiteit
Berpegang pada prinsip bahwa setiap negara
berhak mengatur dan mengikat segala hal menegenai dirinya sendiri dan tidak
dapat mengikat kedalam negara lain.
Dalam ketentuan mengenai asas teritorialiteit
tersebut diatas, yang menjadi dasar berlakunya hukum adalah tempat atau wilayah
hukum negara, tanpa memperhatikan dan tanpa mempersoalkan siapa, atau apa
kualitasnya atau kewarganegaraannya, siapapun yang melakukan tindak pidana
didalam wilayah hukum Indonesia, hukum pidana indonesia berlaku terhadap orang
itu.
Asas personaliteit
Berlakunya hukum pidana menurut asas
personaliteit adalah bergantung atau mengikuti atau mengikuti subyek hukum atau
orangnya, yakni warga negara maupun dimanapun keberadaannya.
Asas perlindungan
Asas perlindungan atau nasionaliteit pasif,
adalah asas berlakunya hukum pidana menurut atau berdasarkan kepentingan hukum
yang dilindungi dari suatu negara yang dilanggar diluar wilayah indonesia.
Asas Universaliteit
Asas Universaliteit berlakunya hukum pidana
tidak dibatasi oleh tempat atau wilayah tertentu dan bagi orang-orang tertentu,
melainkan berlaku dimanapun dan terhadap siapapun. Adanya asas ini berlatar
belakang pada kepentingan hukum dunia, negara maupun diberi hak dan wewenang
mengikat dan membatasi tingkah laku setiap orang dimanapun keberadaanya
sepanjang perlu untuk menjaga ketertiban dan keamanan dan kenyamanan warga
negara negara-negara dunia.
Tempus Delicti, Tempus dari kata Tempo yang berarti
waktu, secara istilah yaitu berlakunya
hukum pidana yang dilihat dari segi waktu terjadinya perbuatan pidana.
Dalam hubungannya dengan pelbagai ketentuan
umum dalam KUHP, mengenai waktu tindak pidana ini penting dalam hal sebagai
berikut:
a. Tindak
pidana penting mengenai hubungannya dengan ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHP,
perihal adanya perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan,
yakni untuk menentukan apakah tindak pidana itu dilakukan sebelum atau sesudah
ada perubahan perundang-undangan. Bila dilakukan sebelum perubahan, maka apakah
akan memperlakukan perundangan yang berlaku sebelum tindak pidana dilakukan
ataukah setelah tindak pidana dilakukan, yakni terhadap ketentuan mana yang
paling menguntungkan terdakwa. Bila yang menguntungkan itu adalah aturan yang
baru, maka aturan tersebut yang diberlakukan.
b. Tindak
pidana penting mengenai berlaku tidaknya ketentuan perihal penjatuhan pidana
atau tindakan terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan tindak pidana
sebelum umur 16 tahun sebagaimana ditentukan dalam pasal 45, 46 dan 47 KUHP.
Jika ketika melakukan tindak pidana umurnya belum 16 tahun, maka diberlakukan
pasal 45, 46 dan 47 KUHP. Kini ketentuan pasal 45, 46 dan 47 KUHP tidak
berlaku. Kini berlaku UU no. 3 tahun 1997 tentang peradilan anak, yaitu
pentingnya mengetahui waktu peristiwa pidana sehubungan dengan peradilan yang
akan mengadili si pelaku tersebut, karena apabila saat kejadian terdakwa
sekurang-kurangnya berumur 8 tahun tetapi belum berumur 18 tahun dan belum
kawin, maka si terdakwa tersebut diadili dengan peradilan anak. Apabila saat
melakukan tindak pidana umur pelaku belum sampai 18 tahun dan belum kawin,
tetapi pada saat diajukan kepersidangan umurnya lebih dari 18 tahun dan belum
mencapai 21 tahun, maka pelaku tersebut tetap diadili di peradilan anak (Pasal
4 UU No.3 tahun 1997). Apabila dalam hal ini si pelaku belum mencapai umur 8
tahun, maka terhadap anak itu dapat dibina oleh orang tua, walinya atau orang
tua asuhnya, penyidik menyerahkan anak tersebut kepada orang tuanya atau
pengasuhnya tersebut.
c. Tindak
pidana penting mengenai hal yang berhubungan dengan ketentuan kadaluwarsa bagi
hak Negara untuk melakukan penuntutan pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal
78-81 KUHP. Kadaluarsa yang dimaksud baik kadaluwarsa mengenai memalsukan
pengaduan baik tindak pidana aduan, kadaluwarsa menjalankan hukuman maupun
kadaluwarsa melakukan penuntutan terhadap si pelaku tindak pidana tersebut.
d. Tindak
pidana penting mengenai hal untuk menentukan usia korban ketika tindak pidana
dilakukan seperti pada kejahatan kesusilaan, di mana ketika tindak pidana
dilakukan usia korban belum 15 tahun (287, 290).
e. Tindak
pidana penting mengenai hal yang berhubungan dengan keadaan jiwa si pelaku
ketika melakukan tindak pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 44 KUHP.
Misalnya ketika petindak melakukan tindak pidana terdapat keadaan jiwa
sebagaimana keadaan jiwa yang cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu jiwanya
karena penyakit. Akan tetapi, ketika dia sembuh, tetap ia tidak dapat dipidana.
Lain halnya ketika tindak pidana dilakukan saat jiwanya dalam keadaan normal
(sehat), namun kemudian ia sakit, maka selama jiwanya sakit ia tidak dapat
diadili. Akan tetapi, setelah ia sehat, peradilan tetap dilangsungkan, dan
terhadapnya tetap dapat dipidana. Tindak pidana penting mengenai hal yang
berhubungan dengan pengulangan (recidive) beberapa kejahatan sebagaimana
ditentukan dalam pasal 486, 487, dan 488 KUHP. Bagi kejahatan tertentu yang
disebutkan dalam pasal itu, pidana yang dijatuhkan pada petindak yang melakukan
tindak pidana tersebut belum lima tahun sejak yang bersangkutan menjalani
pidana yang dijatuhkan karena dulu melakukan kejahatan yang sama, dapat
ditambah dengan sepertiga dari pidana yang diancamkan pada kejahatan tersebut.[4]
Teori Tempus Delicti antara lain yaitu:
a. Teori
perbuatan jasmani
Menurut
teori perbuatan jasmani atau perbuatan materiil, waktu tindak pidana adalah
waktu di mana perbuatan jasmani yang menjadi unsur tindak pidana itu pada
kenyataannya diwujudkan.
b. Teori
alat
Menurut
teori alat, waktu tindak pidana ialah waktu di mana alat digunakan dan bekerja
efektif dalan hal terwujudnya tindak pidana.
c. Teori
akibat
Menurut
teori akibat, waktu tindak pidana ialah waktu di mana akibat dari perbuatan itu
timbul.[5]
Contoh kasus
Seperti biasanya setiap kali merayakan
ultahnya, A mengundang seluruh sanak familinya ke Jakarta, termasuk B
(pamannya) yang tinggal di Surabaya. Perayaan ultah A yang ke 18 ini
diselenggarakan tanggal 5 januari sesuai tanggal kelahiranya.
Tanggal 3 januari B beserta anak istrinya tiba
di Jakarta dari Surabaya. Namun di luar dugaan pada malam tanggal 4 januari
terjadi pertengkaran sengit antara A dan B yang berpangkal pada pembagian ahli
waris, sehingga kepala B berdarah terkena lemparan asbak rokok yang dilakukan
oleh A. oleh karena keadaan sudah runyam maka malam itu juga B dengan kepala
yang masih berdarah membawa anak istriya langsung pulang ke Surabaya. Sementara
pesta ultah di malam itu tetap dilanjutkan. Esok harinya tanggal 5 januari,
kereta api yang ditumpang B tiba di Surabaya. Dan langsung berobat ke rumah
sakit. Dan oleh dokter yang memeriksanya memerintahkan untuk di rawat. 3 hari
terbaring di rumah sakit yakni tanggal 9 januari, B menghenbuskan nafas
terakhirnya. Laporan medis yang dikeluarkan oleh dokter yang merawatnya menunjukkan,
bahawa B meninggal karena terjadi keretakan di tengkorak bagian kiri depan
akibat benturan benda keras.
Pertanyaan yang muncul
atas kejadian ini, dapatkah A dihukum atas perbuatannya terhadap B?
jawab
1. Menurut teori
perbuatan jasmani, bahwa perbuatan/pertengkaran secara fisik yakni pelemparan
asbak rokok ke kepala B hingga luka dan berdarah dan menyebabkan B mati,
dilakukan (terjadi) di tanggal 4 januari. Dimana tanggal tersebut, A masih berusia 17 tahun (dibawah 18 tahun) vide UU no.3/1997. Oleh
karena itu berdasarkan ajaran ini hakim dapat memutuskan 1 diantara
3 kemungkinan yaitu:
a. Mengembalikan
A kepada orang tuanya untuk dididik dan dibina atau.
b. Diserahkan
kepada pemerintah (tanpa dipidana) dan memasukkan ke rumah pendidikan negara
guna dididik hingga perilakunya berubah dan sampai usia 18 tahun.
c. Menjatuhkan
pidana orang dewasa tetapi dikurang 1/3.
2. Menurut teori
alat, bahwa bekerjanya/bereaksinya asbak rokok sebagai alat yang melukai kepala
B dalam pertengkaranya dengan A, terjadi tanggal 4 januari dimana tanggal
tersebut A masih berusia 17 tahun (dibawah 18 tahun) . dengan demikian terhadap
A majelis hakim dapat menjatuhkan salah satu diantara 3 kemungkinan seperti
pada ajaran no.1 diatas.
3. Menurut teori
akibat, bahwa akibat dari pertengkaran tersebut B meninggal tanggal 9 januari.
Dimana pada tanggal tersebut A sudah berusia 18 tahun dengan demikian A sudah
dapat dijatuhi hukuman orang dewasa.
Chamzawi,
Adami, Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005.
Kansil,
Chistine S.T., Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta: PT Pradnya Paramita,
2007.
Moeljatno,
Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009.
Soeharto,
RM, Hukum Pidana Materiil, Jakarta: Sinar Grafika, 1993.
Sugandhi,
R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Penjelasannya, Surabaya:
Usaha Nasional, 1980.
Waluyo,
Bambang, Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Lamintang,
P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1990.
[1]
Adami chamzawi, Pelajaran Hukum pidana, jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
[3]
Prof. Moeljatno, S.H., Asas-Asas Hukum pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009),
85-87
[4] Drs.
Adami Chamzawi, S.H., Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005), 137-139
[5] Drs.
Adami Chamzawi, S.H., Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005), 140