• RSS
Baca Juga >>
Loading...

Saturday, May 18, 2013

Locus Delicti dan Tempus Delicti

in Locus , Locus delicti , lokasi pidana , tempat pidana , Tempus , tempus delicti

Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat mnaati peraturan-peraturan yang ada dalam masyarakat itu. Peraturan-peraturan ini dikeluarkan oleh suatu badan yang berkuasa dalam masyarakat itu yang disebut Pemerintah.
Walaupun peraturan-peraturan ini telah dikeluarkan, masih ada saja orang yang melanggarnya. Terhadap orang yang melanggar peraturan ini sudah tentu dikenakan hukuman yang sesuai dengan perbuatannya yang bertentangan dengan hukum itu. Segala peraturan-peraturan tentang pelanggaran, kejahatan, dan sebagainya, diatur oleh Hukum Pidana.
Hukum pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam masyarakat, agar dapat dipertahankannya segala kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya kedamaian dan ketertiban. Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini dibatasi oleh hal yang sangat penting, yaitu:
a.       Batas waktu
b.      Batas tempat dan orang
Dalam KUHP mengenai batas-batas berlakunya hukum pidana telah di tentukan dan diatur dalam bab pertama buku I dari pasal 1 sampai dengan pasal 9. Pasal 1 tentang batas berlakunya hukum pidana menurut waktu, dan yang selebihnya adalah mengenai batas berlakunya hukum pidana menurut tempat dan orang.[1]
Pelanggaran yang terjadi yang diatur dalam hukum pidana disebut dengan tindak pidana, dan yang berkaitan dengan tindak pidana yaitu tempat dan waktu tindak pidana yang disebut-sebut sebagai unsur tindak pidana walaupun pada kenyataannya ada juga sebagian kecil rumusan tindak pidana tertentu di mana mengenai hal waktu dan tempat itu menjadi unsur, baik sebagai unsur yang memberatkan, misalnya waktu malam dalam sebuah kediaman, atau sebagai unsur pokok, misalnya di jalan umum.
Dalam pasal 143 KUHAP, syarat materiil surat dakwaan harus berisi secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan, yang jika syarat itu tidak dipenuhi maka surat dakwaan itu terancam batal demi hukum. Dalam praktekhukum pidana, perihal waktu dan tempat tindak pidana juga penting bagi Tersangka, Terdakwa, dan penasehat hukumnya dalam hal menyiapkan dan atau melakukan pembelaannya dengan sebaik-baiknya, khususnya mengenai alibi.
Locus Delicti, Locus (inggris) yang berarti lokasi atau tempat, secara istilah  yaitu berlakunya hukum pidana yang dilihat dari segi lokasi terjadinya perbuatan pidana.
Locus delicti perlu diketahui untuk:
a.       Menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana tersebut atau tidak. Ini berhubung dengan pasal 2-8 KUHP.
b.      Menentukan kejaksaan dan pengadilan mana yang harus mengurus perkaranya. Ini berhubung dengan kompetensi relatif.[2] Pasal 84 (1) KUHAP yang memuat prinsip dasar tentang kompetensi relatif, Yakni pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara tindak pidana yang dilakukan di dalam daerah hukumnya.
c.       Sebagai salah satu syarat mutlak sahnya surat dakwaan.
Mengenai locus delicti ini, dalam KUHP tidak ada ketentuan apa-apa. Lain misalnya dengan KUHP jerman di mana dalam pasal 5 ditentukan bahwa tempat perbuatan pidana adalah tempat dimana terdakwa berbuat atau dalam hal kelakuan negatif, dimana seharusnya terjadi.[3]
Secara umum, biasanya tentang locus delicti ini ada dua aliran yaitu:
1.      Aliran yang menentukan di satu tempat, yaitu tempat di mana terdakwa berbuat.
2.      Aliran yang menentukan di beberapa tempat, yaitu mungkin tempat kelakuan, dan mungkin pula tempat kelakuan.
Ada empat teori  untuk menentukan tempat terjadinya peristiwa pidana atau locus delicti atau tempat kejadian perkara.
a.       De leer van de lichamelijke daad
Teori yang didasarkan kepada perbuatan secara fisik. Itulah sebabnya teori ini menegaskan bahwa yang dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana/locus delicti adalah tempat dimana perbuatan tersebut dilakukan.
b.      De leer van het instrument
Teori yang didasarkan kepada berfungsinya suatu alat yang digunakan dalam perbuatan pidana. Jadi teori ini menegaskan bahwa yang dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana adalah tempat dimana alat yang digunakan dalam tindak pidana bereaksi.
c.       De leer van het gevolg
Teori ini didasarkan kepada akibat dari suatu tindak pidana. Menurut teori ini bahwa yang dianggap sebagai locus delicti adalah tempat dimana akibat dari pada tindak pidana tersebut timbul.
d.      De leer van de meervoudige pleets
Menegaskan bahwa yang diaanggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana yaitu tempat-tempat di mana perbuatan tersebut secara fisik terjadi tempat dimana alat yang digunakan bereaksi, dan tempat dimana akibat dari tindak pidana tersebut timbul.
Contoh kasus
Terjadi perkelahian antara A dan B di terminal Rawamangun . B terkapar karena luka-luka ditikam A dengan sebilah pisau. Oleh keluarganya B dilarikan dilarikan kerumah sakit persahabatan. Karena terlalu parah akhirnya pihak rumah sakit mengirim B ke rumah sakit cito, kurang lebih 2 jam dirawat B meninggal. Karena luka yang dideritanya.
 Pertanyaan yang muncul atas kejadian ini, pengadilan mana yang berwenang mengadilinya?
jawab
1.      Menurut teori de leer van delichamelijke daad, bahwa secara fisik perbuatan atau tindak pidana (perkelahian antara A dan B) terjadi dan berlangsung di terminal rawamangun. Oleh karena itu yang berwenang mengadili kasus ini adalah pengadilan negeri Jakarta timur. ( karena eawamangun berada di wilayah jakarta timur).
2.      Menurut teori de leer van het instrument, bahwa alat yang digunakan A (benda tajam) dalam perkelahiannya dengan B bereaksi/ berfungsi/bekerja ditempat perkelahian (tempat bus rawamangun) dengan demikian maka yang berwenang mengadili kasus ini adalah pengadilan negeri jakarta timur.
3.      Menurut teori de leer van het gevolg, bahwa akibat dari perkelahia tersebut adalah tewasnya B di rscm. Dengan demikian pengadilan yang berwenang mengadili kasus ini adalah pengadilan negeri jakarta pusat. Karena timbulnya akibat matinya B di rscm yang letaknya di wilayah jakarta pusat.
4.      Sedangkan menurut teori de leer van de meeervoudige plaats, bahwa karena secara fisik tindak pidana tersebut terjadi di terminal rawamangun demikian pula alat yang digunakan dalam perkelahian tersebut bekerja/ berfungsi di tempat perkelahian (terminal bus rawamangun) maka atas dasar itu pengadilan negeri jakarta timur yang berwenang mengadilinya. Atau dapat juga kasus ini diadili di pengadilan negeri jakarta pusat, karena akibat yang timbul yakni matinya B terjadi di rscm jakarta pusat.


Dalam hal mengenai berlakunya hukum pidana menurut tempat dan orang ini dikenal ada 4 macam asas, yaitu :
a.       Asas teritorialiteit ( territorialiteits-beginsel) atau asas wilayah negara;
b.      Asas personaliteit (personaliteits-beginsel), disebut juga dengan asas kebangsaan, asas nasionalitet aktif atau asas subyektif (subjektions-prinsip);
c.       Asas perlindungan (beschermings-beginsel), atau disebut juga dengan asas nasional pasif;
d.      Asas universaliteit (universaliteit-beginsel), atau asas persamaan.
Asas Teriorialiteit
Berpegang pada prinsip bahwa setiap negara berhak mengatur dan mengikat segala hal menegenai dirinya sendiri dan tidak dapat mengikat kedalam negara lain.
Dalam ketentuan mengenai asas teritorialiteit tersebut diatas, yang menjadi dasar berlakunya hukum adalah tempat atau wilayah hukum negara, tanpa memperhatikan dan tanpa mempersoalkan siapa, atau apa kualitasnya atau kewarganegaraannya, siapapun yang melakukan tindak pidana didalam wilayah hukum Indonesia, hukum pidana indonesia berlaku terhadap orang itu.
Asas personaliteit
Berlakunya hukum pidana menurut asas personaliteit adalah bergantung atau mengikuti atau mengikuti subyek hukum atau orangnya, yakni warga negara maupun dimanapun keberadaannya.
Asas perlindungan
Asas perlindungan atau nasionaliteit pasif, adalah asas berlakunya hukum pidana menurut atau berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi dari suatu negara yang dilanggar diluar wilayah indonesia.
Asas Universaliteit
Asas Universaliteit berlakunya hukum pidana tidak dibatasi oleh tempat atau wilayah tertentu dan bagi orang-orang tertentu, melainkan berlaku dimanapun dan terhadap siapapun. Adanya asas ini berlatar belakang pada kepentingan hukum dunia, negara maupun diberi hak dan wewenang mengikat dan membatasi tingkah laku setiap orang dimanapun keberadaanya sepanjang perlu untuk menjaga ketertiban dan keamanan dan kenyamanan warga negara negara-negara dunia.

Tempus Delicti, Tempus dari kata Tempo yang berarti waktu, secara istilah  yaitu berlakunya hukum pidana yang dilihat dari segi waktu terjadinya perbuatan pidana.
Dalam hubungannya dengan pelbagai ketentuan umum dalam KUHP, mengenai waktu tindak pidana ini penting dalam hal sebagai berikut:
a.       Tindak pidana penting mengenai hubungannya dengan ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHP, perihal adanya perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, yakni untuk menentukan apakah tindak pidana itu dilakukan sebelum atau sesudah ada perubahan perundang-undangan. Bila dilakukan sebelum perubahan, maka apakah akan memperlakukan perundangan yang berlaku sebelum tindak pidana dilakukan ataukah setelah tindak pidana dilakukan, yakni terhadap ketentuan mana yang paling menguntungkan terdakwa. Bila yang menguntungkan itu adalah aturan yang baru, maka aturan tersebut yang diberlakukan.
b.      Tindak pidana penting mengenai berlaku tidaknya ketentuan perihal penjatuhan pidana atau tindakan terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan tindak pidana sebelum umur 16 tahun sebagaimana ditentukan dalam pasal 45, 46 dan 47 KUHP. Jika ketika melakukan tindak pidana umurnya belum 16 tahun, maka diberlakukan pasal 45, 46 dan 47 KUHP. Kini ketentuan pasal 45, 46 dan 47 KUHP tidak berlaku. Kini berlaku UU no. 3 tahun 1997 tentang peradilan anak, yaitu pentingnya mengetahui waktu peristiwa pidana sehubungan dengan peradilan yang akan mengadili si pelaku tersebut, karena apabila saat kejadian terdakwa sekurang-kurangnya berumur 8 tahun tetapi belum berumur 18 tahun dan belum kawin, maka si terdakwa tersebut diadili dengan peradilan anak. Apabila saat melakukan tindak pidana umur pelaku belum sampai 18 tahun dan belum kawin, tetapi pada saat diajukan kepersidangan umurnya lebih dari 18 tahun dan belum mencapai 21 tahun, maka pelaku tersebut tetap diadili di peradilan anak (Pasal 4 UU No.3 tahun 1997). Apabila dalam hal ini si pelaku belum mencapai umur 8 tahun, maka terhadap anak itu dapat dibina oleh orang tua, walinya atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan anak tersebut kepada orang tuanya atau pengasuhnya tersebut.
c.       Tindak pidana penting mengenai hal yang berhubungan dengan ketentuan kadaluwarsa bagi hak Negara untuk melakukan penuntutan pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 78-81 KUHP. Kadaluarsa yang dimaksud baik kadaluwarsa mengenai memalsukan pengaduan baik tindak pidana aduan, kadaluwarsa menjalankan hukuman maupun kadaluwarsa melakukan penuntutan terhadap si pelaku tindak pidana tersebut.
d.      Tindak pidana penting mengenai hal untuk menentukan usia korban ketika tindak pidana dilakukan seperti pada kejahatan kesusilaan, di mana ketika tindak pidana dilakukan usia korban belum 15 tahun (287, 290).


e.       Tindak pidana penting mengenai hal yang berhubungan dengan keadaan jiwa si pelaku ketika melakukan tindak pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 44 KUHP. Misalnya ketika petindak melakukan tindak pidana terdapat keadaan jiwa sebagaimana keadaan jiwa yang cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu jiwanya karena penyakit. Akan tetapi, ketika dia sembuh, tetap ia tidak dapat dipidana. Lain halnya ketika tindak pidana dilakukan saat jiwanya dalam keadaan normal (sehat), namun kemudian ia sakit, maka selama jiwanya sakit ia tidak dapat diadili. Akan tetapi, setelah ia sehat, peradilan tetap dilangsungkan, dan terhadapnya tetap dapat dipidana. Tindak pidana penting mengenai hal yang berhubungan dengan pengulangan (recidive) beberapa kejahatan sebagaimana ditentukan dalam pasal 486, 487, dan 488 KUHP. Bagi kejahatan tertentu yang disebutkan dalam pasal itu, pidana yang dijatuhkan pada petindak yang melakukan tindak pidana tersebut belum lima tahun sejak yang bersangkutan menjalani pidana yang dijatuhkan karena dulu melakukan kejahatan yang sama, dapat ditambah dengan sepertiga dari pidana yang diancamkan pada kejahatan tersebut.[4]
Teori Tempus Delicti antara lain yaitu:
a.       Teori perbuatan jasmani
Menurut teori perbuatan jasmani atau perbuatan materiil, waktu tindak pidana adalah waktu di mana perbuatan jasmani yang menjadi unsur tindak pidana itu pada kenyataannya diwujudkan.
b.      Teori alat
Menurut teori alat, waktu tindak pidana ialah waktu di mana alat digunakan dan bekerja efektif dalan hal terwujudnya tindak pidana.

c.       Teori akibat
Menurut teori akibat, waktu tindak pidana ialah waktu di mana akibat dari perbuatan itu timbul.[5]

Contoh kasus
Seperti biasanya setiap kali merayakan ultahnya, A mengundang seluruh sanak familinya ke Jakarta, termasuk B (pamannya) yang tinggal di Surabaya. Perayaan ultah A yang ke 18 ini diselenggarakan tanggal 5 januari sesuai tanggal kelahiranya.
Tanggal 3 januari B beserta anak istrinya tiba di Jakarta dari Surabaya. Namun di luar dugaan pada malam tanggal 4 januari terjadi pertengkaran sengit antara A dan B yang berpangkal pada pembagian ahli waris, sehingga kepala B berdarah terkena lemparan asbak rokok yang dilakukan oleh A. oleh karena keadaan sudah runyam maka malam itu juga B dengan kepala yang masih berdarah membawa anak istriya langsung pulang ke Surabaya. Sementara pesta ultah di malam itu tetap dilanjutkan. Esok harinya tanggal 5 januari, kereta api yang ditumpang B tiba di Surabaya. Dan langsung berobat ke rumah sakit. Dan oleh dokter yang memeriksanya memerintahkan untuk di rawat. 3 hari terbaring di rumah sakit yakni tanggal 9 januari, B menghenbuskan nafas terakhirnya. Laporan medis yang dikeluarkan oleh dokter yang merawatnya menunjukkan, bahawa B meninggal karena terjadi keretakan di tengkorak bagian kiri depan akibat benturan benda keras.
 Pertanyaan yang muncul atas kejadian ini, dapatkah A dihukum atas perbuatannya terhadap B?
jawab
1.      Menurut teori perbuatan jasmani, bahwa perbuatan/pertengkaran secara fisik yakni pelemparan asbak rokok ke kepala B hingga luka dan berdarah dan menyebabkan B mati, dilakukan (terjadi) di tanggal 4 januari. Dimana tanggal tersebut,  A masih berusia 17 tahun  (dibawah 18 tahun) vide UU no.3/1997. Oleh karena itu berdasarkan ajaran ini hakim dapat memutuskan  1 diantara 3 kemungkinan yaitu:
a.       Mengembalikan A kepada orang tuanya untuk dididik dan dibina atau.
b.      Diserahkan kepada pemerintah (tanpa dipidana) dan memasukkan ke rumah pendidikan negara guna dididik hingga perilakunya berubah dan sampai usia 18 tahun.
c.       Menjatuhkan pidana orang dewasa tetapi dikurang 1/3.
2.      Menurut teori alat, bahwa bekerjanya/bereaksinya asbak rokok sebagai alat yang melukai kepala B dalam pertengkaranya dengan A, terjadi tanggal 4 januari dimana tanggal tersebut A masih berusia 17 tahun (dibawah 18 tahun) . dengan demikian terhadap A majelis hakim dapat menjatuhkan salah satu diantara 3 kemungkinan seperti pada ajaran no.1 diatas.
3.      Menurut teori akibat, bahwa akibat dari pertengkaran tersebut B meninggal tanggal 9 januari. Dimana pada tanggal tersebut A sudah berusia 18 tahun dengan demikian A sudah dapat dijatuhi hukuman orang dewasa.


Chamzawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Kansil, Chistine S.T., Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2007.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009.
Soeharto, RM, Hukum Pidana Materiil, Jakarta: Sinar Grafika, 1993.
Sugandhi, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1980.
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1990.



[1] Adami chamzawi, Pelajaran Hukum pidana, jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
[3] Prof. Moeljatno, S.H., Asas-Asas Hukum pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 85-87
[4] Drs. Adami Chamzawi, S.H., Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 137-139
[5] Drs. Adami Chamzawi, S.H., Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 140
Comments
0 Comments