PEMELIHARAAN
AL-QURAN
Sejak
Masa Nabi Muhammad Saw Sampai Masa Kini
Untuk
Memenuhi Tugas Matakuliah :
STUDI AL-QURAN
Dosen
Pengampu :
Dr. H. M. SA’AD
IBRAHIM, MA.

Disusun
Oleh:
Nur Majdi
NIM.
14781014
PROGRAM STUDI AL-AHWAL
AL-SYAKHSHIYYAH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015
Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam, dan
beriman kepadanya merupakan salah satu rukun Iman. Al-Quran adalah kalam
(firman) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari surat al-fâtihah
sampai dengan surat an-Nâs.[1]
Al-Quran juga merupakan salah satu sumber hukum
Islam yang menduduki peringkat teratas, dan seluruh ayatnya berstatus qath’iy
al-wurud, yang diyakini eksistensinya sebagai wahyu dari Allah SWT.[2] Al-Quran juga merupakan
kitab yang dijamin kesucian dan kemurniannya.
Allah SWT berfirman:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨“tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
“Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. al-Hijr/15:9)
Dengan demikian, orisinalitas benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan, karena ia merupakan wahyu dari Allah baik dari segi
lafadz maupun dari segi maknanya.
Sejak awal hingga akhir turunnya, seluruh ayat
al-Quran telah ditulis dan didokumentasikan oleh para juru tulis wahyu yang
ditunjuk oleh Rasulullah SAW. Disamping itu, seluruh ayat Al-Quran diriwayatkan
secara mutawatir baik secara hafalan
maupun tulisan. Sementara dalam periwayatannya, tidak pernah dan dilarang keras
diriwayatkan secara maknawi.
Dari pada itu, al-Quran yang dimiliki umat
Islam saat ini, ternyata mengalami proses sejarah yang cukup panjang dalam
upaya penulisan dan pembukuannya. Pada masa Nabi SAW, al-Quran baru ditulis
pada kepingan-kepingan tulang, pelepah kurma, dan batu-batu. Hal ini sesuai
dengan kondisi peradaban masyarakat waktu itu yang belum mengenal adanya
alat-alat tulis menulis seperti kertas.
Gagasan pembukuan al-Quran baru muncul pada
masa kekhilafahan Abu Bakar, atas saran dan usul dari umar bin Khattab.
Proses pembukuan al-Quran berlanjut pada masa
kekhilafahan Utsman bin Affan. Saat pemerintahan Khalifah Utsman, di kalangan
kaum muslimin terjadi saling menyalahkan terhadap qira’at yang tidak sesuai
dengan versi qira’at mereka, bahkan di antara mereka nyaris saling
mengkafirkan.[3]
Masing-masing di antara mereka saling membanggakan versi qira’at mereka serta
saling mengakui bahwa qira’at mereka yang paling baik dan benar.
Seiring dengan perkembangan zaman, proses
pembukuan al-Quran menjadi semakin mudah dan lebih cepat proses pencetakannya.
Sehingga mushaf-mushaf al-Quran semakin mudah didapat. Dengan berbagai macam
ukuran, model, dan juga disertai dengan tajwid dan tafsir. Bahkan,
saat ini telah banyak ditemukan al-Quran yagn tidak berupa mushaf, yang disebut
software (peranti lunak), yang dapat di install di berbagai
komputer, handphone, dan gadget.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu :
1. Bagaimana proses
pemeliharaan al-Quran dari masa Nabi Muhammad SAW sampai zaman ini?
2. Bagaimanakah proses
pemeliharaan al-Quran yang paling utama untuk dilaksanakan?
3. Bagaimanakah kritik para
orientalis terhadap proses pemeliharaan al-Quran?
A.
Pemeliharaan
Al-Quran
Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam, dan
beriman kepadanya merupakan salah satu rukun Iman. Al-Quran adalah kalam
(firman) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari surat al-fâtihah
sampai dengan surat an-Nâs.Secara
bahasa, kata quran sama dengan qira’at, yang merupakan bentuk
mashdar menurut wazn fu’lan (فعلان),
seperti kata syukran (شكران). Bentuk kata kerjanya
adalah qara’a, yang berarti membaca, menghimpun dan mengumpulkan.[4] Dengan
demikian, kata quran dan qira’at berarti memadukan sebagian
huruf-huruf dan kata-kata dengan sebagian lainnya. [5]
Allah SWT berfirman:
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ
“Sesungguhnya atas tanggungan
kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.”(QS al-Qiyamah 17)
Sedangkan pengertian pokok
yang terkandung dalam istilah al-Quran menurut pendapat para Ulama Uhul, ulama
fiqh, dan pakar bahasa Arab yaitu lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW mulai dari surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas.
Definisi al-Quran dengan
rincian relatif panjang yaitu:
الكلام المعجز المنزل على محمد صلى الله عليه و سلم
المكتوب فى المصاحف، المنقول بالتواتر، المتعبد بتلاوته[6]
“Kalam
yang bersifat mukjizat, yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, yang ditulis dalam mushaf, yang dinukilkan secara
mutawatir, dan membacanya merupakan ibadah.”
Dalam definisi di atas, dapat
diketahui empat sifat terhadap pengertian pokok al-Quran, yaitu:
1.
Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
memiliki unsur i’jaz. Artinya tidak bisa ditandingi oleh siapa pun.
2.
Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhamad SAW
ditulis dan dibukukan dalam mushaf.
3.
Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
diriwayatkan secara mutawatir.
4.
Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
bila dibaca memiliki nilai ibadah tersendiri.
Pendapat lain tentang definisi
al-Quran yaitu:
الكلام
المنزل على محمد صلى الله عليه و سلم باللغة العربية، المعجزة المؤيدة له، المتحدى
به العرب، المتعبد بتلاوته، المنقول الينا بالتواتر.[7]
“Kalam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan
bahasa Arab, bersifat mukjizat yang menguatkan ke-Nabian beliau dan merupakan tantangan bagi bangsa
Arab, yang membacanya dinilai ibadah, dan dinukilkan secara mutawatir.”
Definisi al-Quran menurut
Manna’ al-Qaththan yaitu:
كلام
الله، المنزل على محمد -صلى الله عليه وسلم- المتعبد بتلاوته
“Kalam Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, yang membacanya merupakan
ibadah”
Kalam dalam definisi di atas, mencakup segala kalam. Dengan
dikaitkannya kalam tersebut dengan Allah SWT, maka tidak termasuk kalam
manusia, jin, dan malaikat. Selanjutnya al-munazzal menunjukkan tidak
termasuk di dalamnya kalam Allah yang tidak diturunkan, sebagaimana yang
dinyatakan Allah dalam firman-Nya:
@è% öq©9 tb%x. ãóst7ø9$# #YŠ#y‰ÏB ÏM»yJÎ=s3Ïj9 ’În1u‘ y‰ÏÿuZs9 ãóst6ø9$# Ÿ@ö7s% br& y‰xÿZs? àM»yJÎ=x. ’În1u‘ öqs9ur $uZ÷¥Å_ ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/ #YŠy‰tB ÇÊÉÒÈ
“Katakanlah:
Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh
habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan
sebanyak itu (pula)".( Q.S. Al-Kahfi: 109)
Sedangkan dikaitkannya al-munazzal
dengan ‘ala Muhammadin menunjukkan,
tidak termasuk di dalamnya kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-nabi
sebelumnya, seperti kitab Zabur, Taurat, dan Injil. Sedangkan al-muta’abbud
bitilawatih menunjukkan, tidak termasuk di dalamnya hadits Qudsi dan
Qira’at al-Quran yang diriwayatkan secara tidak mutawatir, karena keduanya
tidak sah untuk dibaca dalam shalat. [8]
Pemeliharaan al-Quran telah
dimulai sejak masa Nabi Muhammad hidup, yakni dengan dihafal dan ditulis di
pelepah-pelepah kurma atau batu. Kemudian Abu Bakar melanjutkan pembukuan
al-Quran dengan mengumpulkannya dalam satu mushaf. Sedangkan pada masa Utsman
bin Affan, al-Quran diduplikasi dan disebarluaskan ke luar kota.
Kemudian, al-Quran dibubuhi
tanda baca dan tanda huruf, agar memudahkan dalam membacanya bagi orang-orang
non arab.
Seiring perkembangan zaman,
al-Quran banyak ditemui di komputer, handphone, dan gadget. Bisa berupa program
atau aplikasi, maupun berupa hasil rekaman (mp3). Hal ini, dikarenakan al-Quran dijadikan
sebagai peranti lunak yang bisa dibuka melalui perangkat yagn disebutkan di
atas.
Dalam memelihara al-Quran,
bisa dilakukan dengan cara menghafalnya dan menulisnya. Yang dimaksud dengan
pembukuan al-Quran yaitu, proses penyampaian, pencatatan, dan penulisan
al-Quran, sampai dihimpunnya tulisan-tulisan tersebut dalam satu mushaf secara
lengkap dan tersusun secara tertib.[9]
Dalam berbagai literatur,
kebanyakan digunakan istilah jam’ al-Quran (pengumpulan al-Quran), dan
hanya sebagian kecil yang memakai istilah kitabat al-Quran (penulisan
al-Quran), dan tadwin al-Quran (pembukuan al-Quran). Para ulama’ yang
memakai istilah jam’ al-Quran mengartikannya dengan al-jam’ fi
al-shudur (proses penghafalan) dan al-jam’ fi al-suthur (proses
pencatatan dan penulisan)
Adapun proses pengumpulan
al-Quran dapat dibagi menjadi tiga tahap.
1.
Pengumpulan pada masa Nabi SAW
Setiap kali setelah Nabi SAW
menerima wahyu al-Quran, beliau langsung mengingat dan menghafalnya.
Selanjutnya beliau memberitahukan dan membacakannya kepada para sahabat, agar
mereka mengingat dan menghafalnya.
Jadi, al-Quran sejak semula
telah diabadikan antara lain melalui hafalan. Tidak seperti kitab yang lain,
yang hanya diabadikan dalam catatan atau tulisan. Oleh karenanya, tidak
mengherankan bila pada masa-masa selanjutnya, dalam kitab suci mereka terdapat
perubahan-perubahan.[10]
Pada masa Nabi Muhammad,
selain dihafalkan oleh para sahabat, al-Quran juga dicatat dan ditulis oleh
para juru tulis wahyu beliau. Diantaranya yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin
Khaththab, Utsman bin Affan, Aki bin ABi Thalib, Muawiyah, Khalid bin Walid,
Ubay bin Ka’ab Zaid bin Tsabit, AMr bin al-‘Ash, dan Zubayr bin Awwam.[11]
Pada setiap kali Nabi menerima
wahyu al-Quran, beliau lalu membacakannya kepada para sahabat serta
memerintahkan para juru tulis wahyu untuk menulis dan mencatatnya. Sementara
itu beliau pun menunjukkan pula di mana ayat-ayat al-Quran yang diturunkan itu
harus diletakkan pada surat-surat tertentu.[12]
2.
Pengumpulan pada masa Abu Bakar
Dalam perang Yamamah, banyak
para sahabat penghafal al-Quran gugur di medan perang, dengan jumlah sekitar 70
orang.[13]
Peristiwa ini menggugah hati
Umar bin Khaththab untuk meminta kepada Khalifah Abu Bakar, agar al-Quran
dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf. Beliau khawatir jika al-Quran akan
hilang bila hanya dihafal saja, karena para penghafalnya semakin berkurang.
Pada mulanya, Abu Bakar menolak
dengan tegas ide dan usul Umar bin Khaththab tersebut. Namun akhirnya Abu Bakar
menerimanya setelah betul-betul mempertimbangkan kebaikan dan manfaat dari ide
Umar tersebut. Kemudian beliau memerintahkan Zaid bin Tsabit agar al-Quran
dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf.
Zaid bin Tsabit melaksanakan
tugas yang berat tersebut dengan sangat hati-hati, dengan mengikuti petunjuk
dari Abu Bakar dan Umar. Sumber utamanya adalah ayat-ayat al-Quran yang ditulis
di hadapan Nabi Muhammad SAW, berdasarkan perintah beliau, dan hafalan para
sahabat. Untuk lebih berhati-hati, tulisan-tulisan al-Quran tersebut baru
benar-benar diakui berasal dari Nabi Muhammad SAW bila disaksikan oleh dua
orang saksi yang adil.[14]
3.
Pengumpulan pada masa Utsman bin Affan
Pada masa khilafah Utsman bin
Affan, banyak pra penghafal a;-Quran yang bertempat tinggal di berbagai daerah.
Hal ini karena Islam semakin meluas. Sehingga terjadi beberapa pebedaan qira’at
di antara kaum muslimin yang menimbulkan dampak negatif, yaitu, mereka saling
membanggakan dan saling mengakui bahwa qira’at mereka paling baik dan benar. Hingga
akhirnya, mereka saling mengkafirkan di antara sesama.[15]
Kemudian, khalifah Utsman bin
Affan memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Ash, dan
Abdurrahman bin Haris bin Hisyam agar menyalin mushaf yang ditulis pada masa
Abu Bakar menjadi beberapa mushaf, dan mushaf tersebut akan dikirim ke berbagi
kota maupun daerah sebagai rujukan kaum muslimin. Sedangkan mushaf-mushaf
lainnya diperintahkan untuk dibakar.[16]
Di lain sisi, terdapat kritik
yang dilontarkan orientalis tentang penulisan al-Quran. Mereka mengatakan,
bahwa dalam proses penulisan al-Quran terdapat kemungkinan adanya ayat-ayat
yang tertinggal, yang tidak termasuk dalam al-Quran saat ini. Serta, ada
kemungkinan mushaf yang ditulis pada masa khalifah Utsman, bukan merupakan wahyu
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Kemudian, manakah yang lebih
utama di antara menghafal al-Quran dan Menulis al-Quran. Dalam hal ini,
pendapat yang paling kuat adalah menghafal lebih utama daripada menulis.
Pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT:
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ
“Sesungguhnya atas tanggungan
kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.” (QS al-Qiyamah 17)
Pola tulis al-Quran atau yang
biasa disebut Rasm al-Quran, yakni ketentuan atau pola yang digunakan
Utsman bin Affan bersma sahabat-sahabat dalam penulisan al-Quran yang berkaitan
dengan susunan huruf-hurufnya, yang ditulis dalam mushaf.
Pada dasarnya, penulisan
bahasa Arab harus sesuai dengan apa yang diucapkan, tanpa ada penambahan atau
pengurangan huruf. Namun pola tulisan dalam mushaf Utsmani terdapat beberapa
penulisan yang menyalahi kaidah-kaidah penulisan bahasa Arab.[17]
Sebagai contoh, yaitu
pengurangan huruf , seperti pengurangan huruf al-wawu dalam kata kerja
yang asalnya "يدعو" menjadi "يدع" pada firman Allah berikut:
äíô‰tƒur ß`»|¡RM}$# ÎhŽ¤³9$$Î/ ¼çnuä!%tæߊ ÎŽösƒø:$$Î/ ( tb%x.ur ß`»|¡RM}$# Zwqàftã ÇÊÊÈ
¤AuqtFsù óOßg÷Ztã ¢ tPöqtƒ äíô‰tƒ Æí#¤$!$# 4’n<Î) &äóÓx« @à6œR ÇÏÈ
Pada masa pemerintahan
khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, banyak ditemukan kesalahan dalam membaca
kitab suci al-Quran. Sehingga Ziyad bin Samiyyah meminta Abu al-Aswad ad-Duali
agar membubuhkan tanda bacaan dalam al-Quran untuk menghindarkan kaum muslimin
dari kesalahan membaca al-Quran. Akhirnya dibubuhkan tanda fathat, dengan membubuhkan titik satu
di atas huruf, tanda kasrat dengan membubuhkan tanda titik satu di bawah huruf,
tanda dhammat dengan membubuhkan tanda titik satu di antara bagian-bagian
huruf, sedangkan tanda sukun, tidak dibubuhkan tanda apapun pada huruf yang
bersangkutan.[18]
Pada masa khilafah Abbasiyah,
seorang ulama’ bernama al-Khalil bin Ahmad membuat tanda fathat dengan
membubuhkan huruf alif kecil di atas huruf, tanda dhammah dengan huruf wawu
kecil di atas huruf, tanda kasrat dengan huruf ya’ kecil di bawah huruf, tanda
sukun dengan tanda kepala huruf ha’ ح, terletak di atas huruf, dan
syiddat dengan tanda kepala huruf sin terletak di atas huruf.
Pada masa pemerintahan
khalifah Abdul Malik bin Marwan, al-Hajjaj bin Yusuf al-Saqafi, Nashr bin
Ashim, dan Yahya bin Ya’mur menciptakan tanda huruf al-Quran agar tidak terjadi
kesulitan dan kekeliruan dalam membaca al-Quran.[19]
Tanda tersebut berupa pembubuhan
tanda titik untuk membedakan huruf yang satu dengan yang lainnya.
Al-Hajjaj bin Yusuf al-Saqafi
juga mengubah beberapa kalimat dalam mushaf yang ditulis pada zaman Utsman
R.A., yang mana kalimat tersebut dianggap salah dalam penulisannya. Perubahan
tersebut terdapat dalam 12 tempat, yaitu:[20]
No
|
Surat
|
Perubahan
dari al-Hajjaj
|
Mushaf
Utsmani
|
1
|
2:259
|
لم يتسنه وانظر
|
لم يتسن وانظر
|
2
|
5:48
|
شرعة و منهاجا
|
شريعة و منهاجا
|
3
|
10:22
|
هو الذى يسيركم
|
هو الذى ينشركم
|
4
|
12:45
|
انا انبئكم بتأويله
|
انا اتيكم بتأويله
|
5
|
23:87
|
سيقولون لله
|
سيقولون الله
|
6
|
23:
89
|
سيقولون لله
|
سيقولون الله
|
7
|
26:116
|
من المرجومين
|
من المخرجين
|
8
|
26:167
|
من المخرجين
|
من المرجومين
|
9
|
43:32
|
نحن قسمن بينهم معيشتهم
|
نحن قسمن بينهم معيشهم
|
10
|
47:15
|
من ماء غير اسن
|
من ماء غير ياسن
|
11
|
57:7
|
منكم وانفقوا
|
منكم واتقوا
|
12
|
81:24
|
بضنين
|
بظنين
|
Namun, ada sebuah tuduhan
yang dialamatkan kepada al-Hajjaj oleh Auf bin Abi Jamilah, ia dituduh telah
melakukan beberapa perubahan dalam mushaf utsmani dalam 12 tempat, sebagaimana yang tercantum di atas.
Jauh sebelum ‘Auf bin Abi Jamila menuduh al-Hajjaj,
ilmuwan-ilmuwan telah berdebat tentang naskah Mushaf Utsmani yang resmi
dan dengan teliti membandingkannya huruf demi huruf; perbedaan yang disebutkan
oleh ilmuwan-ilmuwan terdahulu tidak sesuai dengan perbedaan yang disebutkan
oleh `Auf. Mushaf yang dibuat oleh Utsman tidak terdapat titik, dan
hingga pada zaman al-Hajjaj, titik tidak digunakan di mana-mana. Ada beberapa
kata di tabel atas tadi, yang jika titiknya dibuang, tetap sama identiknya.
Kemudian jika tidak ada titik dan kerangka huruf sama, bagaimana dia bisa
memodifikasi kata-kata ini. Tidak ada satu pun yang diklaim
ada perubahan mengandung makna lain ayat tersebut, dan tuduhan itu sendiri
(berdasarkan kepada yang di atas) kelihatannya tidak berdasar.[21]
Pendapat yang paling kuat, datang dari al-Hajjaj. Dalam
kitabnya al-Furqan. Al-Hajjaj menyatakan tidak mengubah kata dalam al-Quran
kecuali setelah penelitian dan ijtihadnya bersama para hafidz al-Quran, dan
fuqaha’. Menurut al-Hajjaj, terdapat kesalahan penulisan al-Quran yang ditulis para
penulis dan penyalin pada masa Utsman R.A., hal ini kemungkinan dikarenakan
ketidaktahuan penulis terhadap dasar-dasar penulisan dan kaidah-kaidah imla’,
dan kurang telitinya penulis dalam mendengar ayat-ayat al-Quran yang
disampaikan.[22]
Al-Quran dicetak pertama kali
di Jerman pada tahun 1113 H, yang konon terdapat di Dar al-Lutub al-Arabiyyah,
Kairo Mesir. Pada tahun 1342 H. di Mesir, dicetak al-Quran dengan pola tulisan
dan huruf seperti yang kita kenal saat ini. Mushaf tersebut ditulis sesuai
qira’at Hafs ‘an Ashim, yang dicetak ulang jutaan eksemplar setiap tahunnya.[23]
Dewasa ini, Al-Quran tidak
hanya dicetak ulang melalui percetakan saja. Namun, dengan kemajuan teknologi
yang ada, saat ini al-Quran sudah tersedia berupa peranti / perangkat lunak,
yang berupa aplikasi, program, rekaman suara (mp3), yang bisa digunakan melalui
komputer, handphone, gadget, dan lain-lain. Aplikasi ini dapat dibuka dan
dibaca kapanpun dan dimanapun.
Ada juga orientalis yang
menyimpan mushaf al-Quran dalam bunker, yakni lubang perlindungan di bawah tanah,
atau ruangan yg dipakai untuk pertahanan dan perlindungan.
Hadits dari Umar bin Khaththab
yang berbunyi:
، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كَذَلِكَ أُنْزِلَتْ إِنَّ هَذَا القُرْآنَ أُنْزِلَ
عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ، فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ (رواه البخاري)
Para ulama’ berbeda pendapat
tentang apa yang dimaksud dengan tujuh huruf, yaitu:[24]
Pertama, sebagian besar Ulama
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa
(dialek) dari bahasa-bahasa (dialek-dialek) Arab dalam satu makna. Dalam
artian, jika bahasa mereka berbeda dalam mengungkapkan satu makna, maka
al-Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafazh sesuai dengan ragam bahasa
tersebut tentang satu makna itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka
al-Qur’an hanya mendatangkan satu lafazh atau lebih saja. Kemudian mereka
berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa (dialek) tersebut.
Dikatakan bahwa ketujuh dialek tersebut adalah dialek Quraisy, Hudzail, Tsaqif,
Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.
Pendapat pertama inilah yang
paling kuat menurut jumhur ulama. Sebagian ulama juga berpendapat bahwa
al-Quran boleh dilantunkan sesuai dengan dialek daerah masing-masing. Namun,
dengan syarat pelantunannya harus memperhatikan dengan teliti hukum tajwidnya.
Kedua, yang dimaksud dengan
tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang ada, yang
mana dengannyalah al-Qur'an diturunkan. Dalam artian bahwa kata-kata dalam
al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi, yaitu
bahasa yang paling fasih di kalangan bangsa Arab, meskipun sebagian besarnya
dalam bahasa (dialek) Quraisy. Sedang sebagian yang lain dalam bahasa Hudzail,
Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim atau Yaman, karena itu maka secara keseluruhan
al-Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut.
Pendapat ini berbeda dengan
pendapat sebelumnya, karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini
adalah tujuh dialek yang bertebaran di berbagai surat al-Qur’an, bukan tujuh
bahasa yang berbeda tetapi sama dalam makna.
Menurut Abu Ubaid, yang
dimaksud bukanlah setiap kata boleh dibaca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh
bahasa (dialek) tersebut bertebaran dalam al-Qur’an. Sebagiannya bahasa
Quraisy, sebagian yang lain Hudzail, Hawazin, dan Yaman. Dan selain mereka
berkata:”Sebagian bahasa-bahasa itu lebih beruntung dari yang lain dan lebih
banyak persentasenya dalam al-Qur’an.”
Ketiga, segolongan ulama
berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan huruf adalah tujuh macam hal yang di
dalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu:
1. Perbedaan asmaa’ (perbedaan
kata benda); dalam bentuk mufrad (tunggal), mudzakar (menunjukkan laki-laki)
dan cabang-cabangnya seperti tatsniyyah (menunjukkan dua), jama’ (menunjukkan
lebih dari dua), dan ta’nits (menunjukkan perempuan).
2. Perbedaan dalam segi
I’rab (akhir harakat dari kata dalam bahasa Arab), seperti rafa’
(dhammah), nashab (fathah), majrur (kasroh) dan majzum (sukun). Karena dalam
masalah ini para Qari’ berbeda pendapat dalam membacanya.
3. Perbedaan dalam tashrif
(perubahan posisi dan bentuk dalam ilmu nahwu/tata bahasa Arab).
4. Perbedaan
dalam taqdim (mendahulukan suatu kalimat atas kalimat yang lain) dan ta’khir (mengakhirkan).
5. Perbedaan dalam
segi ibdal (penggantian), baik penggantian huruf dengan huruf,
ataupun penggantian lafazh dengan lafazh, dan bisa jadi penggantian pada
perbedaan makhraj (tempat keluarnya huruf).
6. Perbedaan dengan sebab
adanya penambahan dan pengurangan.
7. Perbedaan lahjah (dialek)
dengan pembacaan tafkhim (tebal) dan tarqiq (tipis),fathah, dan imalah, izhar
dan idgham, hamzah dan tashiil, isymam dan lain-lain.
Keempat, sebagian ulama ada
yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak bisa diartikan secara harfiah,
tetapi angka tujuh tersebut hanya sebagai simbol kesempurnaan menurut kebiasaan
orang Arab. Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan
susunan al-Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi semua perkataan orang
Arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi. Sebab, lafazh sab’ah
(tujuh) dipergunakan pula untuk menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam
bilangan satuan, seperti tujuh puluh dalam bilangan puluhan, dan tujuh ratus
dalam ratusan. Kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk bilangan tertentu.
Kelima, ada juga ulama yang
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah qira’at sab’ah (model
bacaan yang tujuh). Yaitu, qira’at Ibn Amir, qira’at Ibn Katsir, qira’at Ashim,
qira’at Abu Amr, qira’at Hamzah, qira’atNafi’, dan qira’at al-Kisa’i. [25]
Banyak dari para orientalis
yang mengkritik al-Quran dan pembukuannya, di antaranya yaitu, Theodor Noldeke,
Gold Dziher, dan Arthur Jeffry. Para orientalis sebagaimana yang disebutkan,
memiliki pendapat bahwa perbedaan qira’at
al-Quran itu merupakan rekayasa dan ciptaan para ulama ahli qira’at,
yang bukan berdasarkan sanad atau riwayat dari Nabi Muhammad SAW. Menurut
mereka, hal ini disebabkan ketiadaan tanda baca dan tanda huruf di mushaf
Utsmani.
Mereka manambahkan, bahwa
dalam proses penulisan al-Quran terdapat kemungkinan adanya ayat-ayat yang
tertinggal, yang tidak termasuk dalam al-Quran saat ini. Serta, ada kemungkinan
mushaf yang ditulis pada masa khalifah Utsman, bukan merupakan wahyu yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Pernyataan mereka yakni:
a. Di dalam
mushaf Ubay bin Ka’ab, terdapat ayat Quran berupa qunut yang dinamakan surat
al-Khal’u dan surat al-Hafdu, yang tidak terdapat dalam mushaf Utsmani. Mereka
beranggapan bahwa sahabat telah membuang sebagian ayat al-Quran.
b. Ibn
Mas’ud tidak menulis surat al-Fatihah, surat al-Falaq, dan surat an-Nas di
dalam mushafnya. Hal ini dikarenakan ia tidak menganggap tiga surat tersebut
sebagai al-Quran. Hal tersebut menunjukkan bahwa di dalam mushaf Utsmani
terdapat surat yang bukan al-Quran.
Bantahan terhadap pernyataan dan dakwaan di
atas, bahwa hal itu sama sekali tidak benar. Dikarenakan para sahabat sangat
berhati-hati dalam pengumpulan al-Quran. Mereka tidak memasukkan ke dalam
mushaf kecuali yang benar-benar telah diakui kemutawatirannya. Maka, apabila
ternyata apa yang termuat dalam mushaf Ubay bin Ka’ab tidak tertulis dalam
mushaf Utsmani, ini berarti yang tidak termuat dalam mushaf Utsmani bukan
al-Quran.
Kemudian pendapat para ulama yang membantah
tudingan mushaf Ibn Mas’ud yang tidak memuat surat al-Fatihah dan
al-Mu’awidzatain. Ada kemungkinan, yang diriwayatkan Ibn Mas’ud yang mengingkari
al-Fatihah dan al-Mu’awwidzatain sebagai al-Quran adalah tidak benar. Karena
para muslimin telah sepakat ketiga surat tersebut diakui secara mutawatir dan
termasuk dalam al-Quran.[26]
Beberapa orientalis
berpendapat bahwa perbedaan qira’at al-Quran merupakan rekayasa dan ciptaan
ulama ahli qira’at, yang bukan berdasarkan sanad atau riwayat Nabi Muhammad
SAW. Meurut mereka, hal ini disebabkan ketiadaan tanda baca dan tanda huruf.
Theodor Noldeke juga berpendapat,
bahwa huruf-huruf hijaiyah yang terdapat pada awal sebagian surat-surta
al-Quran, merupakan huruf awal dari nama-nama sebagian para sahabat Nabi
Muhammad SAW.[27]
Untuk membutikan ketidakbenaran pendapat orientalis tersebut, berikut bantahan para ulama terhadap
pernyataan mereka, yakni:
a. Sejarah mencatat bahwa
al-Quran dan termasuk berbagai qira’atnya telah dihafal oleh para sahabat
sebelum al-Quran dibukukan dalam mushaf pada masa khilafah Abu Bakar, dan hal
ini berlanjut sampai dengan masa para imam qira’at.
b. Allah SWT telah
menjanjikan dalam firman-Nya, untuk menjaga serta memelihara al-Quran dari
pengubahan, penggantian, dan lain-lain.
c. Tidak ada kitab samawi
mana pun selain al-Quran yang diriwayatkan secara mutawatir melalui sanad yang
shahih, adil lagi dlabith. Ia langsung diterima dari Nabi SAW.
Dalam memelihara al-Quran,
bisa dilakukan dengan cara menghafalnya dan menulisnya. Pada masa Nabi
Muhammad, pengumpulan al-Quran dilakukan dengan dua cara, yakni menghafal dan
menulis. Menghafal merupakan metode pengumpulan yang primer (utama), sedangkan
menulis merupakan metode pengumpulan sekunder (kedua).
Penulisan ayat al-Quran pada
masa Nabi Muhammad dilakukan oleh para Sahabat. Hasil tulisan Sahabat yang
ditunjuk menulis ayat-ayat secara resmi, selanjutnya disebut dokumen resmi
(dokumen negara). Sedangkan Hasil tulisan Sahabat yang menulis atas inisiatif
sendiri, selanjutnya menjadi milik Sahabat itu sendiri.
Pertanyaan yang timbul,
mengapa menghafal al-Quran menjadi metode yang utama dalam memelihara al-Quran?.
Sebab, di antaranya yaitu:
1.
Dengan menghafal, seseorang dapat memebaca tulisan
tanpa adanya tanda baca dan huruf.
2.
Kebiasaan bangsa Arab, menganut kesukuan, yang mana
mempunyai kelebihan dalam hal kuatnya daya hafal (memori) terhadap jalur nasab
keluarga.
3.
Banyak ungkapan dalam al-Quran yang tidak bisa
diungkapkan melalui tulisan. Misalnya, Imalah, Isymam, Tashil. Karena
ungkapan ini harus dengan metode hafalan dan sima’.
4.
Membaca al-Quran, tidak bisa secara maknawi. Karena
akan merubah makna dari ungkapan tersebut
5.
Al-Quran diturunkan dalam 7 huruf, yang maksudnya
adalah dialek-dialek dalam membaca al-Quran, dan dialek yang utama adalah
dialek Quraisy. Sehingga cara memahami dialek tersebut adalah dengan menghafal.
6.
Al-Quran akan menjadi syafa’at bagi shahibul Quran. Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “ketahuilah, makna dari shahibul
Qur’an adalah orang yang menghafalkannya di hati”. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
اقرأوا القرآن فإنه يأتي يوم القيامة شفيعا لأصحابه
“bacalah Al Qur’an, karena
ia akan datang pada hari kiamat sebagai syafa’at bagi shahibul Qur’an” (HR.
Muslim 804)
7.
Menghafal adalah landasan awal ketika Rasulullah
menerima al-Quran dari Malaikat Jibril. Allah berfirman yang artinya: “Bahkan
al-Quran itu adalah ayat-ayat yang menjelaskan
(terdapat) di dalam dada-dada orang-orang yang diberikan ilmu” (QS
al-Ankabut: 49)
8.
Menjaga keautentikan al-Quran. Salah satu keistimewaan
al-Quran adalah keautentikannya terjaga, dan slah satu sebab terjaganya hal
tersebut adalah banyak kaum Muslimin yang menghafalkan al-Quran dalam dada-dada
mereka.
9.
Menghafal al-Quran merupakan fardhu kifayah. Sebagian
ahli ilmu menegaskan bahwa menghafal al-Quran merupakan kewajiban atas umat Islam,
yang apabila telah dilakukan oleh sebagian orang, maka akan terbebaslah kaum
yang lain dari dosanya.
10. Akan
ditempatkan bersama duta-duta yang mulia lagi berbakti. Dari Aisyah radiyallahu
anha bahwa nabi shallahu alaihi wasallam bersabda: "Perumpamaan orang yang
membaca al-Qur'an sementara ia hafal akan ditempatkan bersama para duta-duta
Allah yang mulia lagi berbakti. Dan perumpamaan orang yang membacanya dalam
keadaan berat namun ia tetap berusaha, maka baginya dua pahala."(HR.
Bukhari).
Pada zaman kekhilafahan Utsman
ibn Affan, al-Quran dikumpulkan dalam satu mushaf oleh Sahabat yang ditunjuk
oleh Utsman ibn Affan. Pengumpulan dalam satu mushaf yang dilakukan pada zaman
Utsman berbeda dengan yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad, maka, jalan
apakah yang ditempuh oleh Utsman terkait pengumpulan tersebut?
Sahabat mengumpulkan al-Quran
dalam satu mushaf adalah semata-mata karena maslahah mursalah, yaitu
menjaga al-Quran dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya, dikarenakan
meninggalnya sejumlah besar penghafal al-Quran dari generasi Sahabat.
Penduplikasian dan pencetakan
al-Quran, menggunakan jalan qiyas terhadap Penulisan al-Quran pada zaman Nabi
Muhammad, sedangkan merekam al-Quran (mp3) dan memperdengarkannya melalui
radio, menggunakan jalan qiyas terhadap metode menghafal al-Quran pada zaman
Nabi Muhammad.
Berdasarkan Hadits Rasulullah
yang diriwayatkan oleh Umar ibn Khattab, terdapat tujuh dialek. Sebagian besar
Ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam
bahasa (dialek) dari bahasa-bahasa (dialek-dialek) Arab dalam satu makna.
Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa (dialek)
tersebut. Dikatakan bahwa ketujuh dialek tersebut adalah dialek Quraisy,
Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.
Kemudian, bagaimana jika
seseorang tidak membaca al-Quran dengan salah satu dialek di atas? Sebagian
ulama juga berpendapat bahwa al-Quran boleh dilantunkan sesuai dengan dialek
daerah masing-masing. Namun, dengan syarat pelantunannya harus sesuai dengan kaidah
hukum tajwid. Agar tidak mengubah substansi dari ayat al-Quran.
Dalam kajian ini akan
dipaparkan kritik yang dilontarkan oleh orientalis terhadap penulisan al-Quran
pada masa Sahabat, berikut koreksi penulis terkait kritik tersebut.
Pernyataan orientalis yakni:
a. Orientalis menyatakan
bahwa sahabat telah membuang sebagian ayat al-Quran, karena tidak memasukkan
surat al-Khal’u dan al-Hafdu dalam mushaf Utsmani yang terdapat dalam mushaf
Ubay ibn Ka’ab. Maka timbul pertanyaan, mengapa dalam mushaf Utsmani tidak
terdapat surat al-Khal’u dan surat al-Hafdu?
b. Orientalis menyatakan
bahwa di dalam mushaf Utsmani terdapat surat yang bukan termasuk al-Quran, karena
dalam mushaf Ibn Mas’ud tidak terdapat surat al-Fatihah,
surat al-Falaq, dan surat an-Nas. Maka timbul pertanyaan, mengapa Ibn Mas’ud
tidak menulis surat al-Fatihah, surat
al-Falaq, dan surat an-Nas dalam mushafnya?
Dalam mushaf Utsmani tidak terdapat surat
al-Khal’u dan al-Hafdu, karena kedua surat tersebut bukanlah bagian dari
ayat-ayat al-Quran dan para sahabat memasukkan ayat-ayat yang telah diakui kemutawatirannya. Surat al-Khal’u dan al-Hafdu
bukan bagian dari ayat al-Quran, karena ada kemungkinan bahwa keduanya
merupakan sabda Nabi, untuk menjelaskan dan menafsirkan al-Quran.
Kemudian, mengapa Ibn Mas’ud tidak menulis
surat al-Fatihah, surat al-Falaq, dan surat
an-Nas dalam mushafnya. Karena, ada kemungkinan ketiga surat tersebut tidak
ditulis Ibn Mas’ud, karena ketiga surat tersebut mudah untuk dihafalkan diluar
kepala. Bisa jadi hal inilah alasan Ibn Mas’ud tidak menulis ketiga surat
tersebut dalam mushafnya.
Selain itu, sahabat-sahabat yang tidak ditunjuk
secara resmi oleh Nabi untuk menulis ayat al-Quran, juga dibolehkan untuk
menulis ayat al-Quran, yang hasil tulisannya menjadi dokumen pribadi. Jadi,
mungkin saja ada muatan tulisan yang bukan termasuk al-Quran, atau ada
ayat-ayat al-Quran yang tidak ditulis dalam mushafnya.
Secara bahasa, kata quran sama
dengan qira’at. Bentuk kata kerjanya adalah qara’a, yang berarti
membaca, menghimpun dan mengumpulkan. Dengan demikian, kata quran dan qira’at
berarti memadukan sebagian huruf-huruf dan kata-kata dengan sebagian
lainnya.
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ
“Sesungguhnya atas tanggungan
kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.”(QS al-Qiyamah 17)
Sedangkan pengertian pokok
yang terkandung dalam istilah al-Quran menurut pendapat para Ulama Uhul, ulama
fiqh, dan pakar bahasa Arab yaitu lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW mulai dari surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas.
Definisi al-Quran menurut
Manna’ al-Qaththan yaitu:
كلام الله، المنزل على محمد -صلى الله عليه وسلم- المتعبد بتلاوته
“Kalam Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, yang membacanya merupakan
ibadah”
Kalam dalam definisi di atas, mencakup segala kalam. Dengan
dikaitkannya kalam tersebut dengan Allah SWT, maka tidak termasuk kalam
manusia, jin, dan malaikat. Selanjutnya al-munazzal menunjukkan tidak
termasuk di dalamnya kalam Allah yang tidak diturunkan.
Dalam memelihara al-Quran,
bisa dilakukan dengan cara menghafalnya dan menulisnya. Yang dimaksud dengan
pembukuan al-Quran yaitu, proses penyampaian, penghafalan, pencatatan, dan
penulisan al-Quran, sampai dihimpunnya tulisan-tulisan tersebut dalam satu
mushaf secara lengkap dan tersusun secara tertib.
Para ulama’ yang memakai
istilah jam’ al-Quran mengartikannya dengan al-jam’ fi al-shudur (proses
penghafalan) dan al-jam’ fi al-suthur (proses pencatatan dan penulisan)
Pemeliharaan al-Quran telah
dimulai sejak masa Nabi Muhammad hidup, yakni dengan dihafal dan ditulis di
pelepah-pelepah kurma atau batu. Kemudian Abu Bakar melanjutkan pembukuan
al-Quran dengan mengumpulkannya dalam satu mushaf. Sedangkan pada masa Utsman
bin Affan, al-Quran diduplikasi dan disebarluaskan ke luar kota.
Kemudian, al-Quran dibubuhi
tanda baca dan tanda huruf, agar memudahkan dalam membacanya bagi orang-orang
non arab. Al-Quran dicetak pertama kali di Jerman pada tahun 1113 H, yang konon
terdapat di Dar al-Kutub al-Arabiyyah, Kairo Mesir. Pada tahun 1342 H. di
Mesir, dicetak al-Quran dengan pola tulisan dan huruf seperti yang kita kenal
saat ini. Mushaf tersebut ditulis sesuai qira’at Hafs ‘an Ashim, yang dicetak
ulang jutaan eksemplar setiap tahunnya.
Seiring perkembangan zaman,
al-Quran banyak ditemui di komputer, handphone, dan gadget. Bisa berupa program
atau aplikasi, maupun berupa hasil rekaman (mp3). Hal ini, dikarenakan al-Quran dijadikan
sebagai peranti lunak yang bisa dibuka melalui perangkat yagn disebutkan di
atas
Dalam rangka memelihara
al-Quran, manakah yang lebih utama di antara menghafal al-Quran dan Menulis
al-Quran. Dalam hal ini, pendapat yang paling kuat adalah menghafal lebih utama
daripada menulis. Salah satu alasannya adalah berdasarkan firman Allah SWT:
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya” (QS al-Hijr: 9)
Praktek Sahabat
yang mengumpulkan al-Quran dalam satu mushaf adalah semata-mata karena maslahah
mursalah, yaitu menjaga al-Quran dari kepunahan atau kehilangan
kemutawatirannya, dikarenakan meninggalnya sejumlah besar penghafal al-Quran
dari generasi Sahabat.
Sedangkan penduplikasian dan
pencetakan al-Quran, menggunakan jalan qiyas terhadap Penulisan al-Quran pada
zaman Nabi Muhammad, sedangkan merekam al-Quran (mp3) dan memperdengarkannya
melalui radio, menggunakan jalan qiyas terhadap metode menghafal al-Quran pada
zaman Nabi Muhammad.
Dialek dalam membaca ayat
al-Quran, dibolehkan menggunakan dialek sesuai dengan daerah masing-masing.
Namun, dengan syarat pelantunannya harus sesuai dengan kaidah-kaidah hukum
tajwid. Agar tidak mengubah substansi dari ayat al-Quran.
Al-Qur’ân al-Karîm
Abdul Qadir, Muhammad Thahir. Tarikh al-Quran. Mesir:
Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1953.
Ali al-Shabuni, Muhammad. al-Tibyan fi Ulum
al-Quran. Pakistan: Maktabah al-Busyra, 2010.
al-Qaththan, Manna’, Mabahits fi Ulum al-Quran.
Mesir: Maktabah Wahbah, 1995.
al-Zarqani, Muhammad Abdul Adzim. Manahil al-Irfan
fi Ulum alQuran. Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1995.
Hasanuddin A.F. Anatomi al-Quran: Perbedan Qira’at.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Khallaf, Abd al-Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Mesir:
Maktabat al-Da’wah al-Islamiyyah, 1956.
M. A’zami. Sejarah Teks al-Quran dari wahyu
sampai kompilasi. Jakarta: Gema Insani, 2005.
Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Buhuts Quraniyyat.
Mesir: al-Syirkat al-Mishriyah, 1971.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta.
Rajab Faarjani, Muhammad. Kayfa Nata’addab Ma’al
Mushaf. Beirut: Dar al-I’tisham, 1978.
Shalih, Subhi. Mabahits fi Ulum al-Quran. Beirut:
Dar al-Ilm li al-Malayin, 1977.
[1] Muhammad Abdul Adzim
al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum alQuran, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Arabi, 1995), h. 13.
[2] ‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm
Ushul al-Fiqh, (Mesir: Maktabat al-Da’wah al-Islamiyyah, 1956), h. 21.
[3] Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan
fi Ulum al-Quran, (Pakistan: Maktabah al-Busyra, 2010), h. 56.
[8] Hasanuddin A.F., Anatomi
al-Quran: Perbedan Qira’at, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 19.
[9] Hasanuddin A.F., Anatomi
al-Quran: Perbedan Qira’at, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 44.
[17] Muhammad Thahir Abdul Qadir,
Tarikh al-Quran, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1953), h. 93.
[21] M. A’zami, Sejarah
Teks al-Quran dari wahyu sampai kompilasi (Jakarta: Gema Insani, 2005) h. 115-116
[27] Majma’ al-Buhuts
al-Islamiyah, Buhuts Quraniyyat, (Mesir: al-Syirkat al-Mishriyah, 1971),
h. 141.