• RSS
Baca Juga >>
Loading...

Friday, October 23, 2015

PEMELIHARAAN AL-QURAN Sejak Masa Nabi Muhammad Saw Sampai Masa Kini

in AL-QURAN , MAKALAH , STUDI QURAN
PEMELIHARAAN AL-QURAN
Sejak Masa Nabi Muhammad Saw Sampai Masa Kini


Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah :
STUDI AL-QURAN

Dosen Pengampu :
Dr. H. M. SA’AD IBRAHIM, MA.


Description: D:\JASmin3\logo UIN\UIN Hitam Putih.png


Disusun Oleh:
Nur Majdi
NIM. 14781014




PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015






Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam, dan beriman kepadanya merupakan salah satu rukun Iman. Al-Quran adalah kalam (firman) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari surat al-fâtihah sampai dengan surat an-Nâs.[1]
Al-Quran juga merupakan salah satu sumber hukum Islam yang menduduki peringkat teratas, dan seluruh ayatnya berstatus qath’iy al-wurud, yang diyakini eksistensinya sebagai wahyu dari Allah SWT.[2] Al-Quran juga merupakan kitab yang dijamin kesucian dan kemurniannya.
Allah SWT berfirman:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ  
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. al-Hijr/15:9)

Dengan demikian, orisinalitas benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, karena ia merupakan wahyu dari Allah baik dari segi lafadz maupun dari segi maknanya.
Sejak awal hingga akhir turunnya, seluruh ayat al-Quran telah ditulis dan didokumentasikan oleh para juru tulis wahyu yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW. Disamping itu, seluruh ayat Al-Quran diriwayatkan secara mutawatir  baik secara hafalan maupun tulisan. Sementara dalam periwayatannya, tidak pernah dan dilarang keras diriwayatkan secara maknawi.
Dari pada itu, al-Quran yang dimiliki umat Islam saat ini, ternyata mengalami proses sejarah yang cukup panjang dalam upaya penulisan dan pembukuannya. Pada masa Nabi SAW, al-Quran baru ditulis pada kepingan-kepingan tulang, pelepah kurma, dan batu-batu. Hal ini sesuai dengan kondisi peradaban masyarakat waktu itu yang belum mengenal adanya alat-alat tulis menulis seperti kertas.
Gagasan pembukuan al-Quran baru muncul pada masa kekhilafahan Abu Bakar, atas saran dan usul dari umar bin Khattab.
Proses pembukuan al-Quran berlanjut pada masa kekhilafahan Utsman bin Affan. Saat pemerintahan Khalifah Utsman, di kalangan kaum muslimin terjadi saling menyalahkan terhadap qira’at yang tidak sesuai dengan versi qira’at mereka, bahkan di antara mereka nyaris saling mengkafirkan.[3] Masing-masing di antara mereka saling membanggakan versi qira’at mereka serta saling mengakui bahwa qira’at mereka yang paling baik dan benar.
Seiring dengan perkembangan zaman, proses pembukuan al-Quran menjadi semakin mudah dan lebih cepat proses pencetakannya. Sehingga mushaf-mushaf al-Quran semakin mudah didapat. Dengan berbagai macam ukuran, model, dan juga disertai dengan tajwid dan tafsir. Bahkan, saat ini telah banyak ditemukan al-Quran yagn tidak berupa mushaf, yang disebut software (peranti lunak), yang dapat di install di berbagai komputer, handphone, dan gadget.


Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu :
1.      Bagaimana proses pemeliharaan al-Quran dari masa Nabi Muhammad SAW sampai zaman ini?
2.      Bagaimanakah proses pemeliharaan al-Quran yang paling utama untuk dilaksanakan?
3.      Bagaimanakah kritik para orientalis terhadap proses pemeliharaan al-Quran?




BAB II
AL-QURAN
Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam, dan beriman kepadanya merupakan salah satu rukun Iman. Al-Quran adalah kalam (firman) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari surat al-fâtihah sampai dengan surat an-Nâs.Secara bahasa, kata quran sama dengan qira’at, yang merupakan bentuk mashdar menurut wazn fu’lan (فعلان), seperti kata syukran (شكران). Bentuk kata kerjanya adalah qara’a, yang berarti membaca, menghimpun dan mengumpulkan.[4] Dengan demikian, kata quran dan qira’at berarti memadukan sebagian huruf-huruf dan kata-kata dengan sebagian lainnya. [5]
Allah SWT berfirman:
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ   #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ  
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.(QS al-Qiyamah 17)

Sedangkan pengertian pokok yang terkandung dalam istilah al-Quran menurut pendapat para Ulama Uhul, ulama fiqh, dan pakar bahasa Arab yaitu lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas.
Definisi al-Quran dengan rincian relatif panjang yaitu:
الكلام المعجز المنزل على محمد صلى الله عليه و سلم المكتوب فى المصاحف، المنقول بالتواتر، المتعبد بتلاوته[6]
“Kalam yang bersifat mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang ditulis dalam mushaf, yang dinukilkan secara mutawatir, dan membacanya merupakan ibadah.”

Dalam definisi di atas, dapat diketahui empat sifat terhadap pengertian pokok al-Quran, yaitu:
1.      Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW memiliki unsur i’jaz. Artinya tidak bisa ditandingi oleh siapa pun.
2.      Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhamad SAW ditulis dan dibukukan dalam mushaf.
3.      Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW diriwayatkan secara mutawatir.
4.      Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW bila dibaca memiliki nilai ibadah tersendiri.
Pendapat lain tentang definisi al-Quran yaitu:
الكلام المنزل على محمد صلى الله عليه و سلم باللغة العربية، المعجزة المؤيدة له، المتحدى به العرب، المتعبد بتلاوته، المنقول الينا بالتواتر.[7]
“Kalam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab, bersifat mukjizat yang menguatkan ke-Nabian beliau dan merupakan tantangan bagi bangsa Arab, yang membacanya dinilai ibadah, dan dinukilkan secara mutawatir.”

Definisi al-Quran menurut Manna’ al-Qaththan yaitu:
كلام الله، المنزل على محمد -صلى الله عليه وسلم- المتعبد بتلاوته
Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang membacanya merupakan ibadah”

Kalam dalam definisi di atas, mencakup segala kalam. Dengan dikaitkannya kalam tersebut dengan Allah SWT, maka tidak termasuk kalam manusia, jin, dan malaikat. Selanjutnya al-munazzal menunjukkan tidak termasuk di dalamnya kalam Allah yang tidak diturunkan, sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya:
@è% öq©9 tb%x. ãóst7ø9$# #YŠ#yÏB ÏM»yJÎ=s3Ïj9 În1u yÏÿuZs9 ãóst6ø9$# Ÿ@ö7s% br& yxÿZs? àM»yJÎ=x. În1u öqs9ur $uZ÷¥Å_ ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/ #YŠytB ÇÊÉÒÈ  
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)".( Q.S. Al-Kahfi: 109)

Sedangkan dikaitkannya al-munazzal  dengan ‘ala Muhammadin menunjukkan, tidak termasuk di dalamnya kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-nabi sebelumnya, seperti kitab Zabur, Taurat, dan Injil. Sedangkan al-muta’abbud bitilawatih menunjukkan, tidak termasuk di dalamnya hadits Qudsi dan Qira’at al-Quran yang diriwayatkan secara tidak mutawatir, karena keduanya tidak sah untuk dibaca dalam shalat. [8]
Pemeliharaan al-Quran telah dimulai sejak masa Nabi Muhammad hidup, yakni dengan dihafal dan ditulis di pelepah-pelepah kurma atau batu. Kemudian Abu Bakar melanjutkan pembukuan al-Quran dengan mengumpulkannya dalam satu mushaf. Sedangkan pada masa Utsman bin Affan, al-Quran diduplikasi dan disebarluaskan ke luar kota.
Kemudian, al-Quran dibubuhi tanda baca dan tanda huruf, agar memudahkan dalam membacanya bagi orang-orang non arab.
Seiring perkembangan zaman, al-Quran banyak ditemui di komputer, handphone, dan gadget. Bisa berupa program atau aplikasi, maupun berupa hasil rekaman (mp3).  Hal ini, dikarenakan al-Quran dijadikan sebagai peranti lunak yang bisa dibuka melalui perangkat yagn disebutkan di atas.
Dalam memelihara al-Quran, bisa dilakukan dengan cara menghafalnya dan menulisnya. Yang dimaksud dengan pembukuan al-Quran yaitu, proses penyampaian, pencatatan, dan penulisan al-Quran, sampai dihimpunnya tulisan-tulisan tersebut dalam satu mushaf secara lengkap dan tersusun secara tertib.[9]
Dalam berbagai literatur, kebanyakan digunakan istilah jam’ al-Quran (pengumpulan al-Quran), dan hanya sebagian kecil yang memakai istilah kitabat al-Quran (penulisan al-Quran), dan tadwin al-Quran (pembukuan al-Quran). Para ulama’ yang memakai istilah jam’ al-Quran mengartikannya dengan al-jam’ fi al-shudur (proses penghafalan) dan al-jam’ fi al-suthur (proses pencatatan dan penulisan)
Adapun proses pengumpulan al-Quran dapat dibagi menjadi tiga tahap.
1.      Pengumpulan pada masa Nabi SAW
Setiap kali setelah Nabi SAW menerima wahyu al-Quran, beliau langsung mengingat dan menghafalnya. Selanjutnya beliau memberitahukan dan membacakannya kepada para sahabat, agar mereka mengingat dan menghafalnya.
Jadi, al-Quran sejak semula telah diabadikan antara lain melalui hafalan. Tidak seperti kitab yang lain, yang hanya diabadikan dalam catatan atau tulisan. Oleh karenanya, tidak mengherankan bila pada masa-masa selanjutnya, dalam kitab suci mereka terdapat perubahan-perubahan.[10]
Pada masa Nabi Muhammad, selain dihafalkan oleh para sahabat, al-Quran juga dicatat dan ditulis oleh para juru tulis wahyu beliau. Diantaranya yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Aki bin ABi Thalib, Muawiyah, Khalid bin Walid, Ubay bin Ka’ab Zaid bin Tsabit, AMr bin al-‘Ash, dan Zubayr bin Awwam.[11]
Pada setiap kali Nabi menerima wahyu al-Quran, beliau lalu membacakannya kepada para sahabat serta memerintahkan para juru tulis wahyu untuk menulis dan mencatatnya. Sementara itu beliau pun menunjukkan pula di mana ayat-ayat al-Quran yang diturunkan itu harus diletakkan pada surat-surat tertentu.[12]
2.      Pengumpulan pada masa Abu Bakar
Dalam perang Yamamah, banyak para sahabat penghafal al-Quran gugur di medan perang, dengan jumlah sekitar 70 orang.[13]
Peristiwa ini menggugah hati Umar bin Khaththab untuk meminta kepada Khalifah Abu Bakar, agar al-Quran dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf. Beliau khawatir jika al-Quran akan hilang bila hanya dihafal saja, karena para penghafalnya semakin berkurang.
Pada mulanya, Abu Bakar menolak dengan tegas ide dan usul Umar bin Khaththab tersebut. Namun akhirnya Abu Bakar menerimanya setelah betul-betul mempertimbangkan kebaikan dan manfaat dari ide Umar tersebut. Kemudian beliau memerintahkan Zaid bin Tsabit agar al-Quran dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf.
Zaid bin Tsabit melaksanakan tugas yang berat tersebut dengan sangat hati-hati, dengan mengikuti petunjuk dari Abu Bakar dan Umar. Sumber utamanya adalah ayat-ayat al-Quran yang ditulis di hadapan Nabi Muhammad SAW, berdasarkan perintah beliau, dan hafalan para sahabat. Untuk lebih berhati-hati, tulisan-tulisan al-Quran tersebut baru benar-benar diakui berasal dari Nabi Muhammad SAW bila disaksikan oleh dua orang saksi yang adil.[14]
3.      Pengumpulan pada masa Utsman bin Affan
Pada masa khilafah Utsman bin Affan, banyak pra penghafal a;-Quran yang bertempat tinggal di berbagai daerah. Hal ini karena Islam semakin meluas. Sehingga terjadi beberapa pebedaan qira’at di antara kaum muslimin yang menimbulkan dampak negatif, yaitu, mereka saling membanggakan dan saling mengakui bahwa qira’at mereka paling baik dan benar. Hingga akhirnya, mereka saling mengkafirkan di antara sesama.[15]
Kemudian, khalifah Utsman bin Affan memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Ash, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam agar menyalin mushaf yang ditulis pada masa Abu Bakar menjadi beberapa mushaf, dan mushaf tersebut akan dikirim ke berbagi kota maupun daerah sebagai rujukan kaum muslimin. Sedangkan mushaf-mushaf lainnya diperintahkan untuk dibakar.[16]
Di lain sisi, terdapat kritik yang dilontarkan orientalis tentang penulisan al-Quran. Mereka mengatakan, bahwa dalam proses penulisan al-Quran terdapat kemungkinan adanya ayat-ayat yang tertinggal, yang tidak termasuk dalam al-Quran saat ini. Serta, ada kemungkinan mushaf yang ditulis pada masa khalifah Utsman, bukan merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Kemudian, manakah yang lebih utama di antara menghafal al-Quran dan Menulis al-Quran. Dalam hal ini, pendapat yang paling kuat adalah menghafal lebih utama daripada menulis. Pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT:
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ   #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ  
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. (QS al-Qiyamah 17)
Pola tulis al-Quran atau yang biasa disebut Rasm al-Quran, yakni ketentuan atau pola yang digunakan Utsman bin Affan bersma sahabat-sahabat dalam penulisan al-Quran yang berkaitan dengan susunan huruf-hurufnya, yang ditulis dalam mushaf.
Pada dasarnya, penulisan bahasa Arab harus sesuai dengan apa yang diucapkan, tanpa ada penambahan atau pengurangan huruf. Namun pola tulisan dalam mushaf Utsmani terdapat beberapa penulisan yang menyalahi kaidah-kaidah penulisan bahasa Arab.[17]
Sebagai contoh, yaitu pengurangan huruf , seperti pengurangan huruf al-wawu dalam kata kerja yang asalnya "يدعو"  menjadi "يدع"  pada firman Allah berikut:
äíôtƒur ß`»|¡RM}$# ÎhŽ¤³9$$Î/ ¼çnuä!%tæߊ ÎŽösƒø:$$Î/ ( tb%x.ur ß`»|¡RM}$# Zwqàftã ÇÊÊÈ
¤AuqtFsù óOßg÷Ztã ¢ tPöqtƒ äíôtƒ Æí#¤$!$# 4n<Î) &äóÓx« @à6œR ÇÏÈ  
Pada masa pemerintahan khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, banyak ditemukan kesalahan dalam membaca kitab suci al-Quran. Sehingga Ziyad bin Samiyyah meminta Abu al-Aswad ad-Duali agar membubuhkan tanda bacaan dalam al-Quran untuk menghindarkan kaum muslimin dari kesalahan membaca al-Quran. Akhirnya dibubuhkan  tanda fathat, dengan membubuhkan titik satu di atas huruf, tanda kasrat dengan membubuhkan tanda titik satu di bawah huruf, tanda dhammat dengan membubuhkan tanda titik satu di antara bagian-bagian huruf, sedangkan tanda sukun, tidak dibubuhkan tanda apapun pada huruf yang bersangkutan.[18]
Pada masa khilafah Abbasiyah, seorang ulama’ bernama al-Khalil bin Ahmad membuat tanda fathat dengan membubuhkan huruf alif kecil di atas huruf, tanda dhammah dengan huruf wawu kecil di atas huruf, tanda kasrat dengan huruf ya’ kecil di bawah huruf, tanda sukun dengan tanda kepala huruf ha’ ح, terletak di atas huruf, dan syiddat dengan tanda kepala huruf sin terletak di atas huruf.
Pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan, al-Hajjaj bin Yusuf al-Saqafi, Nashr bin Ashim, dan Yahya bin Ya’mur menciptakan tanda huruf al-Quran agar tidak terjadi kesulitan dan kekeliruan dalam membaca al-Quran.[19]
Tanda tersebut berupa pembubuhan tanda titik untuk membedakan huruf yang satu dengan yang lainnya.
Al-Hajjaj bin Yusuf al-Saqafi juga mengubah beberapa kalimat dalam mushaf yang ditulis pada zaman Utsman R.A., yang mana kalimat tersebut dianggap salah dalam penulisannya. Perubahan tersebut terdapat dalam 12 tempat, yaitu:[20]
No
Surat
Perubahan dari al-Hajjaj
Mushaf Utsmani
1
2:259
لم يتسنه وانظر
لم يتسن وانظر
2
5:48
شرعة و منهاجا
شريعة و منهاجا
3
10:22
هو الذى يسيركم
هو الذى ينشركم
4
12:45
انا انبئكم بتأويله
انا اتيكم بتأويله
5
23:87
سيقولون لله
سيقولون الله
6
23: 89
سيقولون لله
سيقولون الله
7
26:116
من المرجومين
من المخرجين
8
26:167
من المخرجين
من المرجومين
9
43:32
نحن قسمن بينهم معيشتهم
نحن قسمن بينهم معيشهم
10
47:15
من ماء غير اسن
من ماء غير ياسن
11
57:7
منكم وانفقوا
منكم واتقوا
12
81:24
بضنين
بظنين

Namun, ada sebuah tuduhan yang dialamatkan kepada al-Hajjaj oleh Auf bin Abi Jamilah, ia dituduh telah melakukan beberapa perubahan dalam mushaf utsmani dalam 12 tempat, sebagaimana yang tercantum di atas.
Jauh sebelum ‘Auf bin Abi Jamila menuduh al-Hajjaj, ilmuwan-ilmuwan telah berdebat tentang naskah Mushaf Utsmani yang resmi dan dengan teliti membandingkannya huruf demi huruf; perbedaan yang disebutkan oleh ilmuwan-ilmuwan terdahulu tidak sesuai dengan perbedaan yang disebutkan oleh `Auf. Mushaf yang dibuat oleh Utsman tidak terdapat titik, dan hingga pada zaman al-Hajjaj, titik tidak digunakan di mana-mana. Ada beberapa kata di tabel atas tadi, yang jika titiknya dibuang, tetap sama identiknya. Kemudian jika tidak ada titik dan kerangka huruf sama, bagaimana dia bisa memodifikasi kata-kata ini. Tidak ada satu pun yang diklaim ada perubahan mengandung makna lain ayat tersebut, dan tuduhan itu sendiri (berdasarkan kepada yang di atas) kelihatannya tidak berdasar.[21]
Pendapat yang paling kuat, datang dari al-Hajjaj. Dalam kitabnya al-Furqan. Al-Hajjaj menyatakan tidak mengubah kata dalam al-Quran kecuali setelah penelitian dan ijtihadnya bersama para hafidz al-Quran, dan fuqaha’. Menurut al-Hajjaj, terdapat kesalahan penulisan al-Quran yang ditulis para penulis dan penyalin pada masa Utsman R.A., hal ini kemungkinan dikarenakan ketidaktahuan penulis terhadap dasar-dasar penulisan dan kaidah-kaidah imla’, dan kurang telitinya penulis dalam mendengar ayat-ayat al-Quran yang disampaikan.[22]
Al-Quran dicetak pertama kali di Jerman pada tahun 1113 H, yang konon terdapat di Dar al-Lutub al-Arabiyyah, Kairo Mesir. Pada tahun 1342 H. di Mesir, dicetak al-Quran dengan pola tulisan dan huruf seperti yang kita kenal saat ini. Mushaf tersebut ditulis sesuai qira’at Hafs ‘an Ashim, yang dicetak ulang jutaan eksemplar setiap tahunnya.[23]
Dewasa ini, Al-Quran tidak hanya dicetak ulang melalui percetakan saja. Namun, dengan kemajuan teknologi yang ada, saat ini al-Quran sudah tersedia berupa peranti / perangkat lunak, yang berupa aplikasi, program, rekaman suara (mp3), yang bisa digunakan melalui komputer, handphone, gadget, dan lain-lain. Aplikasi ini dapat dibuka dan dibaca kapanpun dan dimanapun.
Ada juga orientalis yang menyimpan mushaf al-Quran dalam bunker, yakni lubang perlindungan di bawah tanah, atau ruangan yg dipakai untuk pertahanan dan perlindungan.
Hadits dari Umar bin Khaththab yang berbunyi:
، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كَذَلِكَ أُنْزِلَتْ إِنَّ هَذَا القُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ، فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ  (رواه البخاري)
Para ulama’ berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan tujuh huruf, yaitu:[24]
Pertama, sebagian besar Ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa (dialek) dari bahasa-bahasa (dialek-dialek) Arab dalam satu makna. Dalam artian, jika bahasa mereka berbeda dalam mengungkapkan satu makna, maka al-Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafazh sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang satu makna itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka al-Qur’an hanya mendatangkan satu lafazh atau lebih saja. Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa (dialek) tersebut. Dikatakan bahwa ketujuh dialek tersebut adalah dialek Quraisy, Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.
Pendapat pertama inilah yang paling kuat menurut jumhur ulama. Sebagian ulama juga berpendapat bahwa al-Quran boleh dilantunkan sesuai dengan dialek daerah masing-masing. Namun, dengan syarat pelantunannya harus memperhatikan dengan teliti hukum tajwidnya.
Kedua, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang ada, yang mana dengannyalah al-Qur'an diturunkan. Dalam artian bahwa kata-kata dalam al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi, yaitu bahasa yang paling fasih di kalangan bangsa Arab, meskipun sebagian besarnya dalam bahasa (dialek) Quraisy. Sedang sebagian yang lain dalam bahasa Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim atau Yaman, karena itu maka secara keseluruhan al-Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut. 
Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh dialek yang bertebaran di berbagai surat al-Qur’an, bukan tujuh bahasa yang berbeda tetapi sama dalam makna. 
Menurut Abu Ubaid, yang dimaksud bukanlah setiap kata boleh dibaca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh bahasa (dialek) tersebut bertebaran dalam al-Qur’an. Sebagiannya bahasa Quraisy, sebagian yang lain Hudzail, Hawazin, dan Yaman. Dan selain mereka berkata:”Sebagian bahasa-bahasa itu lebih beruntung dari yang lain dan lebih banyak persentasenya dalam al-Qur’an.”
Ketiga, segolongan ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu:
1. Perbedaan asmaa’ (perbedaan kata benda); dalam bentuk mufrad (tunggal), mudzakar (menunjukkan laki-laki) dan cabang-cabangnya seperti tatsniyyah (menunjukkan dua), jama’ (menunjukkan lebih dari dua), dan ta’nits (menunjukkan perempuan).
2. Perbedaan dalam segi I’rab (akhir harakat dari kata dalam bahasa Arab), seperti rafa’ (dhammah), nashab (fathah), majrur (kasroh) dan majzum (sukun). Karena dalam masalah ini para Qari’ berbeda pendapat dalam membacanya. 
3. Perbedaan dalam tashrif (perubahan posisi dan bentuk dalam ilmu nahwu/tata bahasa Arab).
4. Perbedaan dalam taqdim (mendahulukan suatu kalimat atas kalimat yang lain) dan ta’khir (mengakhirkan). 
5. Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian), baik penggantian huruf dengan huruf, ataupun penggantian lafazh dengan lafazh, dan bisa jadi penggantian pada perbedaan makhraj (tempat keluarnya huruf). 
6. Perbedaan dengan sebab adanya penambahan dan pengurangan. 
7. Perbedaan lahjah (dialek) dengan pembacaan tafkhim (tebal) dan tarqiq (tipis),fathah, dan imalah, izhar dan idgham, hamzah dan tashiil, isymam dan lain-lain.
Keempat, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak bisa diartikan secara harfiah, tetapi angka tujuh tersebut hanya sebagai simbol kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab. Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan al-Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi semua perkataan orang Arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi. Sebab, lafazh sab’ah (tujuh) dipergunakan pula untuk menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan, seperti tujuh puluh dalam bilangan puluhan, dan tujuh ratus dalam ratusan. Kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk bilangan tertentu.
Kelima, ada juga ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah qira’at sab’ah (model bacaan yang tujuh). Yaitu, qira’at Ibn Amir, qira’at Ibn Katsir, qira’at Ashim, qira’at Abu Amr, qira’at Hamzah, qira’atNafi’, dan qira’at al-Kisa’i. [25]
Banyak dari para orientalis yang mengkritik al-Quran dan pembukuannya, di antaranya yaitu, Theodor Noldeke, Gold Dziher, dan Arthur Jeffry. Para orientalis sebagaimana yang disebutkan, memiliki pendapat bahwa perbedaan qira’at  al-Quran itu merupakan rekayasa dan ciptaan para ulama ahli qira’at, yang bukan berdasarkan sanad atau riwayat dari Nabi Muhammad SAW. Menurut mereka, hal ini disebabkan ketiadaan tanda baca dan tanda huruf di mushaf Utsmani.
Mereka manambahkan, bahwa dalam proses penulisan al-Quran terdapat kemungkinan adanya ayat-ayat yang tertinggal, yang tidak termasuk dalam al-Quran saat ini. Serta, ada kemungkinan mushaf yang ditulis pada masa khalifah Utsman, bukan merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Pernyataan mereka yakni:
a.       Di dalam mushaf Ubay bin Ka’ab, terdapat ayat Quran berupa qunut yang dinamakan surat al-Khal’u dan surat al-Hafdu, yang tidak terdapat dalam mushaf Utsmani. Mereka beranggapan bahwa sahabat telah membuang sebagian ayat al-Quran.
b.      Ibn Mas’ud tidak menulis surat al-Fatihah, surat al-Falaq, dan surat an-Nas di dalam mushafnya. Hal ini dikarenakan ia tidak menganggap tiga surat tersebut sebagai al-Quran. Hal tersebut menunjukkan bahwa di dalam mushaf Utsmani terdapat surat yang bukan al-Quran.
Bantahan terhadap pernyataan dan dakwaan di atas, bahwa hal itu sama sekali tidak benar. Dikarenakan para sahabat sangat berhati-hati dalam pengumpulan al-Quran. Mereka tidak memasukkan ke dalam mushaf kecuali yang benar-benar telah diakui kemutawatirannya. Maka, apabila ternyata apa yang termuat dalam mushaf Ubay bin Ka’ab tidak tertulis dalam mushaf Utsmani, ini berarti yang tidak termuat dalam mushaf Utsmani bukan al-Quran.
Kemudian pendapat para ulama yang membantah tudingan mushaf Ibn Mas’ud yang tidak memuat surat al-Fatihah dan al-Mu’awidzatain. Ada kemungkinan, yang diriwayatkan Ibn Mas’ud yang mengingkari al-Fatihah dan al-Mu’awwidzatain sebagai al-Quran adalah tidak benar. Karena para muslimin telah sepakat ketiga surat tersebut diakui secara mutawatir dan termasuk dalam al-Quran.[26]
Beberapa orientalis berpendapat bahwa perbedaan qira’at al-Quran merupakan rekayasa dan ciptaan ulama ahli qira’at, yang bukan berdasarkan sanad atau riwayat Nabi Muhammad SAW. Meurut mereka, hal ini disebabkan ketiadaan tanda baca dan tanda huruf.
Theodor Noldeke juga berpendapat, bahwa huruf-huruf hijaiyah yang terdapat pada awal sebagian surat-surta al-Quran, merupakan huruf awal dari nama-nama sebagian para sahabat Nabi Muhammad SAW.[27]
Untuk membutikan ketidakbenaran pendapat orientalis tersebut, berikut bantahan para ulama terhadap pernyataan mereka, yakni:
a.       Sejarah mencatat bahwa al-Quran dan termasuk berbagai qira’atnya telah dihafal oleh para sahabat sebelum al-Quran dibukukan dalam mushaf pada masa khilafah Abu Bakar, dan hal ini berlanjut sampai dengan masa para imam qira’at.
b.      Allah SWT telah menjanjikan dalam firman-Nya, untuk menjaga serta memelihara al-Quran dari pengubahan, penggantian, dan lain-lain.
c.       Tidak ada kitab samawi mana pun selain al-Quran yang diriwayatkan secara mutawatir melalui sanad yang shahih, adil lagi dlabith. Ia langsung diterima dari Nabi SAW.




BAB III
KAJIAN ANALITIS

Dalam memelihara al-Quran, bisa dilakukan dengan cara menghafalnya dan menulisnya. Pada masa Nabi Muhammad, pengumpulan al-Quran dilakukan dengan dua cara, yakni menghafal dan menulis. Menghafal merupakan metode pengumpulan yang primer (utama), sedangkan menulis merupakan metode pengumpulan sekunder (kedua).
Penulisan ayat al-Quran pada masa Nabi Muhammad dilakukan oleh para Sahabat. Hasil tulisan Sahabat yang ditunjuk menulis ayat-ayat secara resmi, selanjutnya disebut dokumen resmi (dokumen negara). Sedangkan Hasil tulisan Sahabat yang menulis atas inisiatif sendiri, selanjutnya menjadi milik Sahabat itu sendiri.
Pertanyaan yang timbul, mengapa menghafal al-Quran menjadi metode yang utama dalam memelihara al-Quran?. Sebab, di antaranya yaitu:
1.      Dengan menghafal, seseorang dapat memebaca tulisan tanpa adanya tanda baca dan huruf.
2.      Kebiasaan bangsa Arab, menganut kesukuan, yang mana mempunyai kelebihan dalam hal kuatnya daya hafal (memori) terhadap jalur nasab keluarga.
3.      Banyak ungkapan dalam al-Quran yang tidak bisa diungkapkan melalui tulisan. Misalnya, Imalah, Isymam, Tashil. Karena ungkapan ini harus dengan metode hafalan dan sima’.
4.      Membaca al-Quran, tidak bisa secara maknawi. Karena akan merubah makna dari ungkapan tersebut
5.      Al-Quran diturunkan dalam 7 huruf, yang maksudnya adalah dialek-dialek dalam membaca al-Quran, dan dialek yang utama adalah dialek Quraisy. Sehingga cara memahami dialek tersebut adalah dengan menghafal.
6.      Al-Quran akan menjadi syafa’at bagi shahibul Quran. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “ketahuilah, makna dari shahibul Qur’an adalah orang yang menghafalkannya di hati”. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اقرأوا القرآن فإنه يأتي يوم القيامة شفيعا لأصحابه
bacalah Al Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai syafa’at bagi shahibul Qur’an” (HR. Muslim  804)
7.      Menghafal adalah landasan awal ketika Rasulullah menerima al-Quran dari Malaikat Jibril. Allah berfirman yang artinya: “Bahkan al-Quran itu adalah ayat-ayat yang menjelaskan  (terdapat) di dalam dada-dada orang-orang yang diberikan ilmu” (QS al-Ankabut: 49)
8.      Menjaga keautentikan al-Quran. Salah satu keistimewaan al-Quran adalah keautentikannya terjaga, dan slah satu sebab terjaganya hal tersebut adalah banyak kaum Muslimin yang menghafalkan al-Quran dalam dada-dada mereka.
9.      Menghafal al-Quran merupakan fardhu kifayah. Sebagian ahli ilmu menegaskan bahwa menghafal al-Quran merupakan kewajiban atas umat Islam, yang apabila telah dilakukan oleh sebagian orang, maka akan terbebaslah kaum yang lain dari dosanya.
10.  Akan ditempatkan bersama duta-duta yang mulia lagi berbakti. Dari Aisyah radiyallahu anha bahwa nabi shallahu alaihi wasallam bersabda: "Perumpamaan orang yang membaca al-Qur'an sementara ia hafal akan ditempatkan bersama para duta-duta Allah yang mulia lagi berbakti. Dan perumpamaan orang yang membacanya dalam keadaan berat namun ia tetap berusaha, maka baginya dua pahala."(HR. Bukhari).

Pada zaman kekhilafahan Utsman ibn Affan, al-Quran dikumpulkan dalam satu mushaf oleh Sahabat yang ditunjuk oleh Utsman ibn Affan. Pengumpulan dalam satu mushaf yang dilakukan pada zaman Utsman berbeda dengan yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad, maka, jalan apakah yang ditempuh oleh Utsman terkait pengumpulan tersebut?
Sahabat mengumpulkan al-Quran dalam satu mushaf adalah semata-mata karena maslahah mursalah, yaitu menjaga al-Quran dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya, dikarenakan meninggalnya sejumlah besar penghafal al-Quran dari generasi Sahabat.
Penduplikasian dan pencetakan al-Quran, menggunakan jalan qiyas terhadap Penulisan al-Quran pada zaman Nabi Muhammad, sedangkan merekam al-Quran (mp3) dan memperdengarkannya melalui radio, menggunakan jalan qiyas terhadap metode menghafal al-Quran pada zaman Nabi Muhammad.
Berdasarkan Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Umar ibn Khattab, terdapat tujuh dialek. Sebagian besar Ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa (dialek) dari bahasa-bahasa (dialek-dialek) Arab dalam satu makna. Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa (dialek) tersebut. Dikatakan bahwa ketujuh dialek tersebut adalah dialek Quraisy, Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.
Kemudian, bagaimana jika seseorang tidak membaca al-Quran dengan salah satu dialek di atas? Sebagian ulama juga berpendapat bahwa al-Quran boleh dilantunkan sesuai dengan dialek daerah masing-masing. Namun, dengan syarat pelantunannya harus sesuai dengan kaidah hukum tajwid. Agar tidak mengubah substansi dari ayat al-Quran.




BAB IV
KAJIAN KRITIS

Dalam kajian ini akan dipaparkan kritik yang dilontarkan oleh orientalis terhadap penulisan al-Quran pada masa Sahabat, berikut koreksi penulis terkait kritik tersebut.
Pernyataan orientalis yakni:
a.       Orientalis menyatakan bahwa sahabat telah membuang sebagian ayat al-Quran, karena tidak memasukkan surat al-Khal’u dan al-Hafdu dalam mushaf Utsmani yang terdapat dalam mushaf Ubay ibn Ka’ab. Maka timbul pertanyaan, mengapa dalam mushaf Utsmani tidak terdapat surat al-Khal’u dan surat al-Hafdu?
b.      Orientalis menyatakan bahwa di dalam mushaf Utsmani terdapat surat yang bukan termasuk al-Quran, karena dalam mushaf Ibn Mas’ud tidak terdapat surat al-Fatihah, surat al-Falaq, dan surat an-Nas. Maka timbul pertanyaan, mengapa Ibn Mas’ud tidak menulis surat al-Fatihah, surat al-Falaq, dan surat an-Nas dalam mushafnya?
Dalam mushaf Utsmani tidak terdapat surat al-Khal’u dan al-Hafdu, karena kedua surat tersebut bukanlah bagian dari ayat-ayat al-Quran dan para sahabat memasukkan ayat-ayat yang telah diakui kemutawatirannya. Surat al-Khal’u dan al-Hafdu bukan bagian dari ayat al-Quran, karena ada kemungkinan bahwa keduanya merupakan sabda Nabi, untuk menjelaskan dan menafsirkan al-Quran.
Kemudian, mengapa Ibn Mas’ud tidak menulis surat al-Fatihah, surat al-Falaq, dan surat an-Nas dalam mushafnya. Karena, ada kemungkinan ketiga surat tersebut tidak ditulis Ibn Mas’ud, karena ketiga surat tersebut mudah untuk dihafalkan diluar kepala. Bisa jadi hal inilah alasan Ibn Mas’ud tidak menulis ketiga surat tersebut dalam mushafnya.
Selain itu, sahabat-sahabat yang tidak ditunjuk secara resmi oleh Nabi untuk menulis ayat al-Quran, juga dibolehkan untuk menulis ayat al-Quran, yang hasil tulisannya menjadi dokumen pribadi. Jadi, mungkin saja ada muatan tulisan yang bukan termasuk al-Quran, atau ada ayat-ayat al-Quran yang tidak ditulis dalam mushafnya.







Secara bahasa, kata quran sama dengan qira’at. Bentuk kata kerjanya adalah qara’a, yang berarti membaca, menghimpun dan mengumpulkan. Dengan demikian, kata quran dan qira’at berarti memadukan sebagian huruf-huruf dan kata-kata dengan sebagian lainnya.
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ   #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ  
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.(QS al-Qiyamah 17)

Sedangkan pengertian pokok yang terkandung dalam istilah al-Quran menurut pendapat para Ulama Uhul, ulama fiqh, dan pakar bahasa Arab yaitu lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas.
Definisi al-Quran menurut Manna’ al-Qaththan yaitu:
كلام الله، المنزل على محمد -صلى الله عليه وسلم- المتعبد بتلاوته
Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang membacanya merupakan ibadah”

Kalam dalam definisi di atas, mencakup segala kalam. Dengan dikaitkannya kalam tersebut dengan Allah SWT, maka tidak termasuk kalam manusia, jin, dan malaikat. Selanjutnya al-munazzal menunjukkan tidak termasuk di dalamnya kalam Allah yang tidak diturunkan.
Dalam memelihara al-Quran, bisa dilakukan dengan cara menghafalnya dan menulisnya. Yang dimaksud dengan pembukuan al-Quran yaitu, proses penyampaian, penghafalan, pencatatan, dan penulisan al-Quran, sampai dihimpunnya tulisan-tulisan tersebut dalam satu mushaf secara lengkap dan tersusun secara tertib.
Para ulama’ yang memakai istilah jam’ al-Quran mengartikannya dengan al-jam’ fi al-shudur (proses penghafalan) dan al-jam’ fi al-suthur (proses pencatatan dan penulisan)
Pemeliharaan al-Quran telah dimulai sejak masa Nabi Muhammad hidup, yakni dengan dihafal dan ditulis di pelepah-pelepah kurma atau batu. Kemudian Abu Bakar melanjutkan pembukuan al-Quran dengan mengumpulkannya dalam satu mushaf. Sedangkan pada masa Utsman bin Affan, al-Quran diduplikasi dan disebarluaskan ke luar kota.
Kemudian, al-Quran dibubuhi tanda baca dan tanda huruf, agar memudahkan dalam membacanya bagi orang-orang non arab. Al-Quran dicetak pertama kali di Jerman pada tahun 1113 H, yang konon terdapat di Dar al-Kutub al-Arabiyyah, Kairo Mesir. Pada tahun 1342 H. di Mesir, dicetak al-Quran dengan pola tulisan dan huruf seperti yang kita kenal saat ini. Mushaf tersebut ditulis sesuai qira’at Hafs ‘an Ashim, yang dicetak ulang jutaan eksemplar setiap tahunnya.
Seiring perkembangan zaman, al-Quran banyak ditemui di komputer, handphone, dan gadget. Bisa berupa program atau aplikasi, maupun berupa hasil rekaman (mp3).  Hal ini, dikarenakan al-Quran dijadikan sebagai peranti lunak yang bisa dibuka melalui perangkat yagn disebutkan di atas

Dalam rangka memelihara al-Quran, manakah yang lebih utama di antara menghafal al-Quran dan Menulis al-Quran. Dalam hal ini, pendapat yang paling kuat adalah menghafal lebih utama daripada menulis. Salah satu alasannya adalah berdasarkan firman Allah SWT:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS al-Hijr: 9)

Praktek Sahabat yang mengumpulkan al-Quran dalam satu mushaf adalah semata-mata karena maslahah mursalah, yaitu menjaga al-Quran dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya, dikarenakan meninggalnya sejumlah besar penghafal al-Quran dari generasi Sahabat.
Sedangkan penduplikasian dan pencetakan al-Quran, menggunakan jalan qiyas terhadap Penulisan al-Quran pada zaman Nabi Muhammad, sedangkan merekam al-Quran (mp3) dan memperdengarkannya melalui radio, menggunakan jalan qiyas terhadap metode menghafal al-Quran pada zaman Nabi Muhammad.
Dialek dalam membaca ayat al-Quran, dibolehkan menggunakan dialek sesuai dengan daerah masing-masing. Namun, dengan syarat pelantunannya harus sesuai dengan kaidah-kaidah hukum tajwid. Agar tidak mengubah substansi dari ayat al-Quran.




















Al-Qur’ân al-Karîm
Abdul Qadir, Muhammad Thahir. Tarikh al-Quran. Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1953.
Ali al-Shabuni, Muhammad. al-Tibyan fi Ulum al-Quran. Pakistan: Maktabah al-Busyra, 2010.
al-Qaththan, Manna’, Mabahits fi Ulum al-Quran. Mesir: Maktabah Wahbah, 1995.
al-Zarqani, Muhammad Abdul Adzim. Manahil al-Irfan fi Ulum alQuran. Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1995.
Hasanuddin A.F. Anatomi al-Quran: Perbedan Qira’at. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Khallaf, Abd al-Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Mesir: Maktabat al-Da’wah al-Islamiyyah, 1956.
M. A’zami. Sejarah Teks al-Quran dari wahyu sampai kompilasi. Jakarta: Gema Insani, 2005.
Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Buhuts Quraniyyat. Mesir: al-Syirkat al-Mishriyah, 1971.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta.
Rajab Faarjani, Muhammad. Kayfa Nata’addab Ma’al Mushaf. Beirut: Dar al-I’tisham, 1978.
Shalih, Subhi. Mabahits fi Ulum al-Quran. Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1977.




[1] Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum alQuran, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1995), h. 13.
[2] ‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Mesir: Maktabat al-Da’wah al-Islamiyyah, 1956), h. 21.
[3] Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi Ulum al-Quran, (Pakistan: Maktabah al-Busyra, 2010), h. 56.
[4] Kamus Munawwir, h. 1102
[5] Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Quran, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1995), h. 14.
[6] Muhammad Abdul ‘Adzim al-Zarqani, h. 19.
[7] Muhammad Rajab Faarjani, Kayfa Nata’addab Ma’al Mushaf, (Beirut: Dar al-I’tisham, 1978), h. 30.
[8] Hasanuddin A.F., Anatomi al-Quran: Perbedan Qira’at, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995),  h. 19.
[9] Hasanuddin A.F., Anatomi al-Quran: Perbedan Qira’at, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 44.
[10] Hasanuddin. A.F. h. 48
[11] Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani, h. 246.
[12] Hasanuddin, h. 49
[13] Muhammad Ali al-Shabuni, h. 50.
[14] Hasanuddin A. F., h. 55.
[15] Muhammad Ali al-Shabuni, h. 56.
[16] Subhi Shalih, h. 78.
[17] Muhammad Thahir Abdul Qadir, Tarikh al-Quran, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1953), h. 93.
[18] Muhammad Thahir Abdul Qadir, h. 157.
[19] Muhammad Thahir Abdul Qadir, h. 158.
[20] Ibn al-Khatib, Al-Furqan, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), h. 51-52
[21] M. A’zami, Sejarah Teks al-Quran dari wahyu sampai kompilasi (Jakarta: Gema Insani, 2005) h. 115-116
[22] Ibn al-Khatib, Al-Furqan, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), h. 52
[23] Subhi Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran, (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1977), h. 100.
[24] Manna’ al-Qaththan, h. 158-161
[25] Manna’ al-Qaththan, h. 170.
[26] Muhammad Abdul Adzim, h. 275.
[27] Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Buhuts Quraniyyat, (Mesir: al-Syirkat al-Mishriyah, 1971), h. 141.
Comments
3 Comments

3 komentar

No more longing to become widely known at this time. Buy Facebook Followers as a strategy to acquire status and authority on the internet in a shorter span. buy facebook followers cheap

هذا هو العلم المفيد
University of Jordan
http://www.ju.edu.jo/home.aspx

The post is very nice. I just shared on my Facebook Account.